“Refleksi Perjuangan Soe Hok Gie dan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara”
Mang Oejank Indro
Padepokan Ki Hadjar Dewantara
“Aku adalah orang Indonesia Biasa
Yang Bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia”[1]
Salah satu rangkaian kalimat diatas adalah ungkapan Ki Hadjar Dewantara kepada seorang anaknya – Bambang Sokawati Dewantara – yang akan pergi ke Jakarta, untuk memenuhi panggilan pekerjaan sebuah surat kabar. Kejadian itu kurang lebih dua bulan sebelum denyut nadi Ki Hadjar Dewantara berhenti untuk waktu yang tidak terbatas. Sebuah padepokan – yang juga tempat tinggalnya – Ki Hadjar Dewantara, sosok revolusioner yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat sekaligus bapak pendidikan Indonesia itu menghabiskan sisa waktu di akhir hidupnya.
Tanggal kelahirannya – 2 Mei 1889 – ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional – Meskipun beliau mungkin tidak menginginkannya. Pria kelahiran Yogyakarta ini terlahir untuk mengabdi dan berjuang untuk bangsa Indonesia. Pemikiran dan perjuangannya dibidang pendidikan dan kebudayaan membuatnya dengan ringan hati melepas gelar kebangsawanannya. Sebuah gelar yang sangat sakral – yang diperebutkan banyak orang – rela dikorbankan Ki Hadjar Dewantara untuk bisa lebih dekat dan harmonis dengan semua kalangan masyarakat.
Empat tahun setelah kepulangannya dari negeri belanda, Ki Hadjar Dewantara dan sejumlah tokoh pejuang lainnya mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Bersama Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk Indonesia.
Pada tahun 1932 pemerintah kolonial Hindia-Belanda – dengan Staatsblad No. 494/September 1932 – menerbitkan Undang-undang yang dinamakan Wilde Scholen Ordonatie (Undang-undang Sekolah Liar). Undang-undang – yang berlaku mulai 1 Oktober 1932 – tersebut merupakan ordonasi untuk mereka yang hendak menyelenggarakan pendidikan atau hanya ingin sekedar mengajar di sekolah-sekolah, harus mengantongi izin tertulis dari pemerintah dan harus memenuhi persyaratan – antara lain – bahwa setiap pemohon harus orang yang dapat di percaya pemerintah.
Tepat tanggal 1 Oktober 1932. Ki Hadjar Dewantara melayangkan surat
[2] ke pemerintah Gubenur Jendral Hindia-Belanda di Bogor. Surat itu membangkitkan semangat nasionalisme dan edukasi yang tinggi. Terbukti dengan banyaknya penolakan dari lembaga pendidikan dan partai politik di tanah air. Hanya empat bulan setelah ordonasi tersebut, tanggal 23 Pebruari Pemerintah Hindia-Belanda mencabut ”Undang-undang Sekolah Liar” tersebut
[3].
Banyak nilai luhur yang terangkum dalam sosok Ki Hadjar Dewantara. Perjuangan dan dedikasi seorang intelektual, kapabilitas, dan konsistensinya begitu dahsyat. Nilai-nilai inilah yang harus ditanam di jiwa dan tubuh mahasiswa di Milenium sekarang.
Tiga semboyan beliau – tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) – merupakan wujud nyata tatanan keilmuan, keluhuran, dan kecerdasan spiritual-inteletual sang Bapak Pendidikan. Pandangan dan pemikirannya selalu berdasarkan nilai-nilai kebangsaan kebudayaan, dan kekeluargaan. Dengan pandangan dan pemikiran tersebut beliau mencoba menghapus paham-paham individualis yang tertanam pada sebagian masayarakat Indonesia.
GIE, Pohon Oak yang Berani Menantang Angin
Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production adalah 2 dari banyak orang yang memperkenalkan semangat perjuangan seorang pemuda tamatan Universitas Indonesia yang tulang belulangnya di kremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango
[4]. Mereka menghormati perjuangan sang pemuda lewat film “GIE” yang di bintangi Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi, dan Thomas Nawilis. Film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan pemuda kelahiran 17 Desember 1942 keturunan Cina dari hasil perkawinan Soe Lie Pit – seorang novelis – Nio Hoe An.
Soe Hok Gie
[5], pemuda yang suka melahap cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer semenjak dibangku SD ini tidak mengenal ragu dan takut untuk melawan ketidakadilan. Jalur perjuangannya tegas dan jelas – namun tidak muluk-muluk. Gie sepertinya bahagia mati muda? Atau dia sudah mengetahui kematiannya? Salah satu
quote dari catatan hariannya. “ Seorang filsuf Yunani pernah menulis. ….. nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Dan dia benar-benar mewujudkan kebahagiaan – mati muda akibat gas beracun Gunung Semeru – itu. Seorang legenda memang banyak yang mati muda bukan?
DR. John Maxwell dalam bukunya “Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani” menjelaskan dengan bahasa yang berapi-api dan lugas tentang pemuda oposisif dan sulit diajak kompromi dengan oposisinya ini. “Dia adalah seorang mahsiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meningal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional.” Ujar DR. John Maxwell.
Meskipun banyak dari teman-teman seangkatannya – terkenal dengan Angkatan 66
[6] di Bandung – banyak yang lupa dengan visi dan misi awal perjuangan Angkatan 66, Gie tetap dengan konsistensi dan teguh terhadap apa yang diperjuangkannya. Gie adalah kiblat ideologi perjuangan mahasiswa
Indonesia.
Salah satu buku – kumpulan catatan Gie sejak 4 Maret 1957 sampai 8 Desember 1969 – Gie yang diterbitkan LP3ES tahun 1983 dengan judul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran” adalah buku – tebal 494 halaman – yang wajib di baca semua mahasiswa se-Nusantara. Idealisme khas seorang mahasiswa termaktub dalam rangkain kalimat-kalimat Gie. Buku lain yang ditulis oleh Gie adalah Zaman Peralihan (Bentang, 1997), Di Bawah Lentera Merah (Bentang, 1999), dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan – skripsi S1-nya yang mengulas pemberontakan PKI di Madiun – yang juga diterbitkan Yayasan Bentang pada tahun 1997.
Nama Soe Hok Gie tidak pernah muncul dalam buku sejarah sekolah – mungkin sengaja tidak dimunculkan. Namun Gie adalah fenomena bersejarah dunia pergerakan mahasiswa Indonesia. Kita mengenal Ki Hadjar Dewantara dengan 3 semboyannya, kita memiliki semangat pergerakan Soe Hok Gie.
Cuplikan catatan Soe Hok Gie yang mampu membuka gerbang pergerakan di sanubari mahasiswa adalah :
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
Masih banyak catatan Soe Hok Gie yang membakar mental kita, membuka cakrawala pandangan kita. Karena mahasiswa
Indonesia adalah
Iron Stock[7] Bangsa
Indonesia.
****
Mencoba Ber-Komparasi
Soe Hok Gie dengan perjuangan dan pergerakan idealisme “kemahasiswaannya” membawanya menembus tirani dan “penjara” pemerintahan orde lama maupun orde baru.
Ki Hadjar Dewantara dengan “Trias” semboyannya mampu menemukan identitas pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hasil karya intelektual kedua “legenda” Indonesia yang hidup dan beradaptasi dengan atmosfir pendidikan, kebudayaan, dan – mblegedes – politik pemerintahan.
Merevolusi kesadaran. Itulah sebenarnya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif adalah bagian dari salah satu tugas intelektual – seluruh – mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie – dengan idealisme struktural yang “kekal” – dan Ki Hadjar Dewantara – dengan edukasi bertandensi cultural – yang "baru"?
Sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa, adalah bagaimana mengembalikan ruh – idealisme – gerakan mahasiswa pada hakekatnya. Sebagai gerakan yang progresif, kritis dan independen, dengan begitu maka akan terwujud terbangun tatanan demokrasi yang kita idamkan.
Karakter yang menarik dari semua aktivis gerakan mahasiswa adalah mereka yang memenuhi persyaratan
[8] :
- Mempunyai prestasi akademik yang baik (IPK diatas rata-rata).
- Basic organisasi yang kuat, karena mengalami pengkaderan yang berjenjang dari tingkatannya, bukan aktivis instant yang hanya mengejar popularitas sesaat.
- Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya.
- Mampu me-manage (mengatur) waktu, bukan waktu yang mengaturnya.
- Mampu menuangkan pokok pikiran dan ide-ide nya kedalam tulisan. Gerakan penyadaran tidak hanya dalam bentuk aksi jalanan melainkan dalam bentuk tulisan – essai, tabloid, majalah, dan koran pelajar – juga.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria seperti diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai aktivis mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar, belajar dan belajar.
Daftar Pustaka
Madjid, “Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan Yang Merevolusionerkannya.” Dikutip dari majalah PROGRES No. 3, Jilid 2, 1992.
Riki, “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI 2006
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Kolom Biografi, “Biografi Soe Hok Gie (1942-1969)” 2009
Kolom-biografi,blogspot.com/2009/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html (18 Juni 2010).
Dewantara, Ki Hajar, “Ki Hajar Dewantara,” Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.
[1] Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,”
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989
[2] Isi
surat tersebut antara lain: “.....
Perkenankanlah saya mengingatkan bahwa setiap makhluk tak berdaya mempunyai naluri berlawanan menolak bahaya, demikian juga halnya kami karena dipaksaakan berlawanan secara keras selama-lamanya dengan cara diam.”
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989
[3] Stlb. No. 18/23 Pebruari 1933 Pemerintah Hindia-Belanda.
[4] Gunung tertinggi kedua di Jawa Barat, 3.019 mdpl.
[5] Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokian dari namanya Su-Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi).
[6] Sebutan untuk tokoh perakan pemuda pasca Angkatan 45. Antara lain : Soe Hok Gie, Akbar Tandjung, dan Cosmas Batubara.
[7] Label prestisius untuk mahasiswa:
Agent of Change, Agent of Control, Iron Stock. Dan label-label lainnya. Emanuel Kant.
[8] Portal Berita Perpustakaan UPI
, Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah; Posted on Wednesday, October 06 @ 13:27:20 WIT by
riki