Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Friday, August 12, 2011

HINDARI SEX-APPEAL DAN NAFSU EXHIBISIONISME


Oleh,
Mang Oejank Indro


Pada era modern saat ini banyak bermunculan media-media yang menghantarkan remaja kedalam aspek-aspek demonstratif dan agresif. Bahkan dapat dikatakan hampir pada semua kegiatan kehidupan kita sehari-hari. Pertemuan di sekolah, kampus, tempat olahraga, dalam kendaraan, pengajian dan sebagainya. Apabila kita kurang hati-hati dan tidak mempunyai kendali diri yang berupa aturan moral, maka lingkungan akan menyeret kita kedalam suatu ruang perversi. Dan yang sering menjadi menjadi wahana eksplorasinya adalah kalangan remaja, hal ini sangat berbahaya karena mereka sedang dalam keadaan jiwa yang tidak tetap, suatu pribadi yang belum memiliki kematangan bentuk dan masih muda menerima pengaruh dari luar. Apalagi pengaruh-pengaruh yang datangnya sengat menyolok dan dengan disengaja, selain itu, organ seksualitas yang mulai matang sebagai alat pemenuhan kebutuhan koitus yang mulai membara yang mana pada konsdisi inilah kebutuhan tersebut membutuhkan sambutan dari luar.

Sex-appeal adalah daya tarik yang kuat yang dapat membangkitkan seseorang pada nafsu-nafsu seksual atau birahi terhadap jenis lain. Sedangkan nafsu exhibisionisme mempunyai pengertian suatu keinginan yang kuat untuk memperlihatkan kepada orang lain karena sifat jasmaniah yang dimiliki oleh seseorang, terutama dipergunakan dalam hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah seksualitas. Karena sifatnya yang dating secara tiba-tiba dan dapat melemahkan kepribadian, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuatu yang sifatnya erotis-seksual.

NILAI WANITA DALAM ISLAM


Oleh, Mang Oejank Indro

Sebagai tanda bukti kekuasaan Allah SWT, Allah menciptakan manusia dalam dua jenis yang berlawanan sebagai jodohnya, ialah jenis pria dan jenis wanita. Meskipun ada lagi jenis ketiga yaitu banci (khuntsa), namun itu merupakan sebagian kecil ataupun merupakan pengecualian.
Berdasarkan hasil penyelidikan para sarjana yang ahli golongan wanita di dunia ini sejak dari dulu sampai sekarang telah melalui tiga periode dengan tingkatan falsafah dan pola fikir yang berbeda. Pertama, golongan yang menghinakan wanita. Golongan ini mengartikan bahwa wanita bukan jenis manusia, tetapi jenis binatang. Karena bukan jenis manusia, wanita pada periode ini diperjual belikan, digadaikan ataupun ditukar-tambahkan layaknya barang dagangan. Tidak lain wanita tersebut dijadikan sebagai alat pemuas nafsu dan tidak mempunyai hak sama sekali, yang ada padanya adalah kewajiban semata. Bila sudah tidak laku dijual, ia-pun dibuang seperti sampah. Kedua, Golongan yang mendewakan wanita.

Friday, May 27, 2011

Air dan Kehidupan



Air merupakan komoditas yang penting dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup dimuka bumi. Tanpa air, peradaban manusia akan dengan cepat musnah. Karena air, sebuah peradaban akan tumbuh. Meskipun 70 persen dari muka bumi adalah air, namun 97 persen darinya adalah air laut (asin) yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung oleh manusia.
Pada hakikatnya, kuantitas air dibumi tidak berubah. Hal ini disebabkan adanya siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah siklus perputaran air di alam. Namun, persediaan air tawar yang ada dibumi semakin menghawatirkan. Faktanya, hanya 0,29 % air tawar yang dimanfaatkan. Sisanya tersimpan di kutub sebagai gunning es.

Monday, March 21, 2011

Mencumbu Islam Kosmpolitan


Telaah Kritis Sufistik dan Ilmu Kalam
Oleh: Iswanda Fauzan S (Mang Oejank Indro)


Abstrak
Sebuah penafsiran tentang pokok-pokok ajaran Islam sudah banyak dituangkan oleh ulama-ulama kaliber dunia. Mulai dari syariat sampai fiqh. Sejarah telah banyak mencatat tentang Islam, tidak terkecuali tasawuf dan ilmu kalam. Sebuah penafsiran tekstual akan menjadikan umat Islam terkurung dalam ruang perversi. Sebelum semua menjadi bias dan terkontaminasi oleh pandangan-pandangan nyeleneh, revitalisasi nilai-nilai universal Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah harus dikembalikan – dengan penafsiran komprehensif menggunakan tasawuf dan ilmu kalam (tauhid). Unsur-unsur utama dalam penyampaian kemanusiaan (al-insaniyah) sejatinya sudah terpatri dalam rangkaian ajaran Islam. Meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlaq). Universalitas Islam dapat ditelusuri melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu al-aqli). Tasawuf tidak seharusnya berkutat pada perbincangan soal moralitas semata. Lebih jauh, Tasawauf juga menyinggung dunia batiniah yang memiliki ruang tanpa batasan yang harus terus-menerus dijelajahi untuk mencapai titik tertinggi tanpa terputus (istiqomah). Selanjutnya, kehidupan beragama yang elektik akan tercapai ditengah-tengah peradaban Islam saat ini dan masa depan.


Kata kunci: Islam, kosmopolitan, tasawuf, ilmu kalam, sufistik

Monday, March 7, 2011

Aktualisasi Pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan[1]

-->
Oleh : Iswanda Fauzan S[2]
Abstrak
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional memiliki makna filosofis, yuridis, dan sosial politik. Problem di era reformasi sekarang ini adalah belum mantapnya kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah media yang komprehensif untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Berdasrkan prespektif teori fungsionalisme structural, sebuah bangsa yang majmuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity), dan nilai kebaikan (ideal value). Pendidikan kewarganegaraan merupakan wadah internalisasi nilai-nilai pendidikan Pancasila dalam wujud subtansi kajian: norma dasar negara (staatfundamentalnorm), nilai bersama (common values), dan prinsip dasar kebangsaan (nation basic principle). Ketiganya dijadikan materi Pancasila dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.
Kata kunci :Pancasila, civic education, common values, ideology

Wednesday, February 9, 2011

Menapaki Jejak Sang Guru Bangsa

-->
Abdurrahman Wahid, presiden ke-empat Republik Indonesia ini memang memiliki daya tarik dan kecermelangan – juga kejeniusan – diatas rata-rata. Resensi ini berkutat tentang buku karya Greg Barton yang berjudul”Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman  Wahid” terbitan LKiS tahun 2002. Buku yang diterjemahkan oleh Lie Hua ini membredel sosok Gus Dur dari proses yang berbeda disbanding penulisan buku tentang Gus Dur lainnya. Selain pendekatan dengan membaca litaratur seputar Gus Dur dan melakukan penelitian, Greg sengaja menfokuskan penulisan biografi ini pada keterangan subjeknya sendiri, yaitu Gus Dur. Greg Barton memang mendapatkan momen yang pas dalam penulisan biografi Gus Dur – yang sebenarnya adalah sebuah penelitian tentang pengaruh liberalisme Islam dan sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi.
Ke-nyelenehan Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai dan pembesar NU (Nahdhatul Ulama) itu. Dalam hal intelektual dan keilmuan, tak dapat dipungkiri beliau adalah orang super cerdas dan memiliki ingatan yang tajam. Buku boigrafi yang  memiliki lima pokok bahasan dan dua belas sub-pokok bahsan ini menfokuskan perjalanan Gus Dur dalam kerangka politik. Dalam pokok bahasan awak, Greg membeberkan konstuksi pemikiran Gus Dur dari sejak kecil sampai ketika Gus Dur berkelana ke dataran Eropa. Pada pertengahan buku, sajian yang dihidangkan Greg adalah konsepsi Islam, tradisi, dan modernisasi dalam pemikiran Gus Dur. Tidak lupa Greg juga menerangkan secara gamblang proses Gus Dur mengawal Reformasi 1998, ketika menjadi presiden, dan pasca menjadi RI-1 di tahun 2001.

Thursday, November 4, 2010

Menyegarkan Kembali Pendidikan Indonesia


-->
"Kajian Studi Kultral dan Pedagogik Libertarian"


Dekade awal di abad ke-21 menghadirkan banyak tantangan global pada tatanan pendidikan nasional. Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru berarti kebijakan yang baru. Polemik kehadiran PP No 66 tahun 2010 menambah daftar panjang jejak “mengenaskan” pendidikan Indonesia.

Sunday, October 31, 2010

Oki Setiana Dewi : Mahasiswa Adalah Pembangun Bangsa

-->
Dua hari sebelum wawancara dengan Oki Setiana Dewi, saya melanyangkan sms singkat kepadanya. “Maaf, kak Oki, saya Oejank dari media magang SUMA UI. Bisa ketemu untuk wawancara..?” seperti itu kira-kira sms saya.
Jum’at (29/10/10) siang, saya dan rekan saya, Dimas, akhirnya berkesempatan untuk ngobrol ngalor-ngidul dengan Oki seputar mahasiswa dan Triharma perguruan tinggi.

Wednesday, October 20, 2010

Meluruskan Paradigma Pendidikan: Fungsi Mencerdaskan Bangsa

-->
Tinjauan Kritis: Pendidikan Indonesia, Riwayatmu Kini. (Suara Mahasiswa edisi 26 th. 2010, p 15-21)

 Setelah membaca dan memahami tulisan yang berjudul “Pendidikan Indonesia, Riwayatmu Kini” pada majalah Suara Mahasiswa (SUMA) UI edisi 26/XVII/2010. Sebenarnya penulis tidak terpuaskan dengan ending (bagian akhir) berita. Dua bentuk krisis pendidikan, yang dipaparkan seorang sosiolog pendidikan, Paulus Wirutomo, merupakan krisis yang sudah menjadi public secret (rahasia umum) di tengah-tengah masyarakat dua dekade terakhir. Sudut pandang narasumber – menurut kajian penulis pribadi – masih menitikberatkan pada pemerintah dan lembaga pendidikan.

Tuesday, October 5, 2010

Tridharma Perguruan Tinggi Vs Tut Wuri Handayani

-->
Mang Oejank Indro

            Dalam esei kali ini, penulis sengaja ingin membedah, mengkaji, dan mengkodifikasikan essensi tridharma perguruan tinggi (PT) dan pembelajaran. Namun, esei ini didasarkan pada sudut pandang penulis selama “hidup” dalam lingkungan akademik perguruan tinggi. Sekitar bulan November – saya lupa tangalnya – tahun lalu, penulis mendapatkan kesempatan memberikan wacana tentang PT di Sekolah Tinggi Teknik Qomaruddin Gresik (STTQ Gresik). Kebetulan tema yang penulis sampaikan tidak jauh berbeda dengan tugas yang disodorkan panitia PSA-MABIM FIB UI 2010 kali ini.
            Perguruan tinggi, menurut KH. A. Sounhadji, M.A, Ph. D, adalah sebagai pusat intelektual dan pusat kebudayaan. Kerr. C, 1982 dalam “The use of University” memaparkan bahwa terjadi transformasi – perguruan tinggi – yang semula sebagai masyarakat master dan mahasiswa sehingga dinamakan universitas modern. Yaitu PT yang secara sadar berorientasi kepada penciptaan pengetahuan baru, yang mendorong tumbuhnya penelitian-penelitian kreatif dan bermanfaat. Pada tahun yang sama. Thellin, 1982, mengartikan PT adalah pusat pengembangan disiplin ilmu melalui program pasca sarjana, pelaksanaan seminar-seminar ilmiah, penelitian dan pengembangan, konsorium dan penerbitan jurnal-jurnal professional. Perguruan tinggi sebagai saga organisasi, suatu pemahaman kolektif terhadap aktifitas-aktifitas yang unik, didasarkan atas sejarah, norma-norma, tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di dalam dan diluar negeri. Pendapat terakhir dikemukakan oleh Clark, 1986. Dari beberapa definisi tentang perguruan tinggi diatas, essensi tridharma perguruan tinggi – dengan tiga butir poin – di Indonesia sudah mewakili beberapa definisi diatas. Apa sebenarnya tridharma perguruan tinggi?

Tridharma Perguruan Tinggi
            Dekade awal di abad-21, essensi tridharma PT, menurut penulis, masih mendapat tempat yang teduh di dalam “gerbong-gerbong” PT di Indonesia. Pemerintah sebagai lokomotif – dengan M. Nuh sebagai masinisnya – terbukti stabil melintasi rel pendidikan nasional. Selanjutnya rangkaian “gerbong” PT akan memasukli stasiun intelektualitas global. Lalu bagaimana essensi tridharma PT mampu menjadi “amunisi” menghadapi gempuran percaturan intelektualitas global? Siapkah SDM hasil “cetakan” PT nasional melakukan action? PT dan komponennya – termasuk mahasiswa, dosen, ilmuan, dan pemerintah – adalah jawabannya. Generasi muda bangsa adalah essensi objektif dari tridharma PT.
            Dimulia dari tujuan pendidikan berdasarkan PP No. 60 tahun 1999 tentang PT pasal 1. Tujuan pendidikan yang pertama adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
            Tridharma perguruan tinggi (PT) memiliki tiga mata rantai. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Perkins, 1986, menjelaskan bahwa tridharma PT mengacu pada tiga aspek pendidikan – yang cenderung memasuki wilayah pendidikan dan pengajaran. Tiga aspek tersebut adalah aquicition (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan). Ketiganya akan memiliki ketergantungan dan keterkaitan yang melengkapi.
Membicarakan tridharma PT, penulis lebih senang memosikan diri sebagai pelaku kebudayaan pendidikan – bukan berarti harus menjadi budayawan. PT sebagai multiversitas memang menjadi warehouse pendidikan yang didalamnya hidup masyarakat akademisi dan non akademisi. Di dalamnya bisa kita temukan mahasiswa, ilmuan, professional, non-akademis dan administrator. Selain itu, di dalam warehouse pendidikan juga berisikan corak dan “belang” kegiatan akademis. Dimulai dari pengajaran, memajukan pengetahuan, mengembangkan metode penelitian, memperluas kesadaran berbangsa, pengabdian kepada masyarakat. Mungkin masyarakat akademik dan non-akademik dewasa ini, dengan kegiatan di atas, belum semuanya bersinergi dengan baik. Prof. H. A. R. Tilaar menyodorkan “manifesto pendidikan nasional” untuk kembali melahirkan asas Tut Wuri Handayani. Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru berarti kebijakan yang baru.



Tut Wuri Handayani
Pedagogik libertarian yang “diracik" Prof. H.A.R Tilaar merupakan prinsip yang “fitrah” dari asas pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Sehingga posisi pendidik sebagai pembimbing – yang selalu didepan – akan bergeser menjadi pendorong dari belakang, yaitu Tut Wuri Handayani itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut pandangan oppositional pedagogy tulisan Gregory Jay dan Gerald Graft, A Critique of Critical Pedagogy – yang saya kutip dari buku Prof. H.A.R Tilaar – menyatakan bahwa pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa – Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Sudah saatnya mahasiswa Indonesia “ngaji” Tut Wuri Handayani serta memosisikan pendidikan didalam tradisi, tanpa harus berpandangan tradisional. Salah satu dari prinsip inside out yang ditawarkan Prof. H.A.R Tilaar mungkin wajib ditanamkan dalam jiwa mahasiswa Indonesia sekarang juga, yaitu proses belajar yang dialogis dengan menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani yang mencakup tiga wilayah garapan; life sciences, natural sciences & technoloy, dan information sciences. Ketiga “lahan” garapan tersebut akan subur jika generasi mudanya mampu mengelola dengan baik. Namun “lahan” garapan tersebut akan puso apabila generasi penerusnya tidak mampu mengolah dengan baik. Dengan demikian, hardcore mahasiswa Indonesia yang Indonesia akan lahir.

Bahan Rujukan :
Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional.” Dalam Artikel Untuk Negeri. Tabloid Prospek 2010. Surabaya: Global-Indo Media.
Riki, 2006. “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI.
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Fauzan S, Iswanda, 2009. “Modul Pengenalan Perguruan Tinggi.” Gresik:STTQ Gresik Perss.

Tuesday, September 28, 2010

Narasi Kantin Asrama UI

-->
Pagi ini saya bangun tepat jam lima pagi – biasanya tidur lagi. Ritual sholat subuh saya lakoni dengan khusyu – seperti biasa. Hari ini Minggu tanggal 26 September 2010. Agenda yang terpampang di tembok kamar saya “merangsang” saya untuk segera beranjak menyelesaikan tugas – sebagai syarat masuk – dari Badan Otonom Pers kampus Universitas Indonesia atau yang akrab dengan “julukan” B.O.Pers UI.
Kegiatan jurnalistik memang sudah menjadi menu wajib yang harus saya cerna sejak SLTA. Tulisan kali ini saya buat sebagai “alibi” untuk merangsek masuk sebagai anggota B.O.Pers UI 2010. Mengacu pada tema yang tercetak pada formulir pendaftaran, yaitu membuat deskripsi tentang kantin asrama UI dari sudut pandang yang (angle) yang nyeleneh, maka saya sengaja mengambil judul “Narasi Kantin Asrama UI.
Berbicara tentang asrama, orang akan dengan cepat berfantasi tentang makanan, minuman, meja makan, dan outlet-outlet yang menjajakan danganga mereka. Paradigma yang demikian memang tidak salah. Kantin dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi kantin adalah ruang tempat menjual minuman dan makanan (di sekolah, di kantor, di asrama, dsb). Namun, karena tuntutan “skenario" dari panitia yang mengisyaratkan untuk mendeskripsikan dari angle berbeda, maka saya harus mencium, melihat, mendengar, dan merasakan dengan cara yang berbeda pula. Banyak hal unik di kantin asrama UI apabila kita melihat dari sudut pandang subaltern. Sudut pandang subaltern tidak akan bisa kita temukan di buku referensi, koran, maupun media elektronik. Pandangan ini hanya akan anda temukan di tengah-tengah lingkungan bersahaja kaum santri pondok pesantren, percakapan petani, perbincangan warung kopi dan rakyat yang tertindas – rakyat jelata, tukang becak sampai tukang sampah, buruh, dan masyarakat pinggiran.

Monday, September 20, 2010

Mengarang Sebuah Urgensi di UI

Awalnya Konfusi
Penulis sempat bingung dengan tema yang diajukan panitia, yaitu “Urgensi PSA-MABIM.” Pengunaan kata “Urgensi” menurut penulis sangat ambigu. Artinya, apa yang urgent? Mengapa harus urgent? Atau panitia sengaja menyajikan sebuah konfusi belaka? “Urgensi” dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai keperluan yang sangat mendesak. Apalagi, dalam ketentuan dalam Buku Budaya dijelaskan jumlah karakter tulisan antara 5000 – 7000 karakter. Penulis merasa dimanjakan dengan salah satu tugas yang satu ini.
Dalam buku KAMABA tahun akademik 2010, beberapa catatan dari Prof. Dr. der Soz. Gumilar R. Soemantri sudah mewakili apa yang disebut “Urgensi PSA-MABIM” secara keseluruhan, bukan? Tapi, penulis akan mencoba menorehkan susunan paragraf reklamasi tentang “Urgensi PSA-MABIM.” Semoga tidak hanya menjadi syarat PSA-MABIM belaka. Lebih jauh, penulis berharap tulisan ini mampu memberi kontribusi untuk semua pembaca.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan beberapa hal terkait tema “Urgensi PSA-MABIM” dari sudut pandang subaltern. Pandangan subaltern tetntunya tidak akan ditemukan di media cetak, televisi, atau di seminar-seminar ilmiah yang megah dan modern. Padangan seperti ini hanya bisa di jelajahi dan ditemukan dalam perbincangan warung kopi, dalam percakapan kaum buruh, dan juga dalam banyak suara orang-orang pinggiran diberbagai aksi dan demo mereka.
Mengawinkan Pandangan Sublatern
Tujuan serangkaian kegiatan awal mahasiswa baru UI (Universitas Indonesa) terbagi dua, umum dan khusus. Penulis hanya akan “mengawinkan” antara tujuan umum PSA-MABIM dengan sudut pandang subaltern. Pertama, meningkatkan peran dan tanggung jawab mahasiswa dalam proses pembelajaran. Seorang mahasiswa tidak hanya harus bertanggung jawab dalam hal sinau (belajar) semata – dengan kata lain, proses pembalajaran harus memiliki karakteristik tersendiri. Dalam beberapa kasus, peran mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, iron stock dan julukan lain yang tersemat di dada mereka, hanya mampu bertahan di level terakhir percaturan intelektual nasional. Tentu mahasiswa perguruan tinggi yang menyandang nama negara tidak ingin disebut sebagai trahison des clercs (penghianatan intelektual)[1].
Universitas Indonesia (UI) menduduki peringkat 201 dunia berdasarkan rilis dari imes Higher Education - QS World University Ranking (THE-QS World). Prestasi mahasiswa UI di level internasional juga sangat cemerlang. Banyak tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan UI yang menduduki posisi penting di Indonesia. Sebut saja Ibu Sri Mulyani (mantan Menkeu, sekrang bertugas di Bank Dunia, New York), Chandra Hamzah (Pimpinan KPK), Suharna Surapranata (Menteri Negara dan Riset), dan masih banyak orang-orang besar lulusan UI lainnya. Hal ini membuktikan bahwa gerbang PSA-MABIM merupakan sebuah agenda yang urgent bagi mahasiswa baru UI.
Kedua, mempererat hubungan antaranggota civitas akademika. Kabar burung yang diterima penulis mengatakan bahwa intensitas antara alumni UI berbeda antarfakultas. Tapi bukan hal itu yang akan penulis paparkan. Dibawah tameng Dr. Komaruddin selaku direktur kemahasiswaan UI, atmosfir kehidupan di UI terasa nyaman dan aman. Sebagai mahasiswa – apalagi mahasiswa UI, bukan hanya tuntuan mempererat hubungan antaranggota saja. Namun harus memosisikan diri sebagai komunitas akademik. Dalam PPRI No. 60 Tahun 1999, menjelaskan tentang disiapkannya mahasiswa untuk “(1) Menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional, yang menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian; (2) menegembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.”
Ketiga, memperkenalkan infrastruktur untuk membangkitkan kepedulian mahasiswa akan lingkungan universitas. Poin ketiga membahas hal-hal teknis dilapangan tentang bagaimana dan mengapa mahasiswa baru, yang mengikuti PSA-MABIM, mampu mengendalikan kepedulian mahasiswa kepada universitasnya. Universitas Indonesia memilki sejarah panjang dalam perjalanannya menjadi benteng Negara. Dengan visi “menjadi universitas riset kelas dunia” dan misi menyelenggarakan pendidikan tinggi berbasis riset untuk pengembangan ilmu, teknologi, seni dan budaya, dan menyelenggarakan pendidikan tinggi yang mengupayahkan penggunaannya unyuk meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia serta kemanusiaan.UI dibawah tangan dingin Prof. Dr. der.Soz. Gumilar Rusliwa Somantri menunjukkan kelasnya sebagai universitas terbaik di Indonesia. Lima besar Asia tenggara dan peringkat 201 dunia. Seperti yang penulis utarakan di awal, gerbang PSA-MABIM merupakan khazanah yang mencetak ideologi mahasiswa UI. Untuk memperjelas tentang urgensi PSA-MABIM. Penulis akan memaparkan salah satu unsur, mengapa PSA-MABIM itu harus urgent? Yaitu hedonisme.
Virus Hedonisme
Hedonisme memiliki pengertian sebagai suatu kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat temporarry (sementara), sehingga orang terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar dan gagal membangun asketisme. Dewasa ini mahasiswa – termasuk saya pribadi – lebih “mencintai” tayangan dan hal-hal yang bersifat entertainment, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.
Gaya hidup hedonis yang melekat pada mahasiswa terbukti berhasil melonggarkan pertalian pendidikan sebagi bagian dari kebudayaan. Mungkin rasa we felling atau rasa “kekitaan” yang dikumandangkan Benedict Anderson sebagai rasa nasionalisme di dalam suatu imagined community (masyarakat yang diimajinasikan) sedang sekarat dibenak mahasiswa. Pancasila pun sudah jarang menjadi jargon mahasiswa untuk ditelaah, dikaji, apalagi menjalankan nilai-nilai luhur Pancasila. Seharusnya mahasiswa Indonesia mampu berpendidikan ditengah-tengah tradisi tanpa harus bersikap tradisional. Dengan hardcore lokal, mahasiswa akan lebih mampu menembus barikade keilmuan menuju intelektualitas yang global.
Selain mendiskreditkan kebudayaan, virus hedonisme juga telah memangkas makna tri dharma perguruan tinggi yang mengacu pada tiga aspek pengetahuan menurut Perkins, yaitu aquicition, transmission, dan application. Mahasiswa seharusnya familiar dan bergaul dengan penjelajahan pemikiran dan intelektual yang interdisipliner. Namun, realita yang ada sangat bertolak belakang dari seharusnya. Mahasiswa ogah “mengunyah” tulisan-tulisan Lenin, Jean-Jacques Rousseau, Karl Marx, Plato, Aristoteles, Hanafi, Fajrul Rahman, Cak Nur, Tilaar, dan Gus Dur. Mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop daripada musik gamelan, lebih cinta Jeans daripada batik, dan masih banyak lagi hardcore mahasiswa Indonesia yang tidak “Indonesia.”
Gejala hedonisme sudah “melahap” hampir seluruh mahasiswa diperkotaan dan daerah-daerah. Hedonisme juga telah mengerutkan kapasitas moral mahasiswa. Mungkin mahasiswa yang benar-benar “Indonesia” sudah punah di dekade 90-an? Atau mereka belum menyadari bahwa pusat lahirnya peradaban dunia adalah Indonesia? Prof. Arysio dalam bukunya, Atlantis; The Lost Continent Finally Found – saya baru baca separuh – menyuguhkan informasi tentang kebenaran bahwa Atlantis adalah Indonesia, Negara kita. Adalah tugas mahasiswa – termasuk saya – untuk mengulang peradaban Eden, nenek moyang kita. Sekaligus sebagai pewaris tunggal nusantara. Kenapa kita harus memakai “baju” orang barat kalau kita memiliki “baju” sendiri?
Bahan Rujukan:
Somantri, Gumilar R, “Sambutan Rektor Universitas Indonesa.” Dalam Panduan KAMABA Universitas Indonesia Tahun Akademik 2010/2011. 3 – 4. Jakarta: Universitas Indonesia.
Santos, Arysio, 2009 “Atlantis; The Lost Continent Finally Found” Jakarta: Ufuk Press.
Buku Saku Universitas Indonesia, 2009 “Profil Universiatas Indonesia Jakarta: Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia1.
Said, Edward W. 1998 “Peran Intelektual; Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fauzan S, Iswanda. 2010 “Hardcore Mahasiswa yang IndonesiaDalam Kumpulan Artikel untuk Negeri. Tabloid Prospek. Surabaya: Global-Indo Media.
http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/widia.kurnia/read/2939/peringkat-ui-201-dunia-tahun-2009. Jumat. 20.48 WIB.

Iswanda Fauzan S
1006696951
Ilmu Perpustakaan




[1] Riri Hindaryati P dan P. Hasudungan Sirait, dalam Peran Intelektual, xvi-xix. Edward E. Said,1998

Revolusi Kesadaran Gerakan Mahasiswa

“Refleksi Perjuangan Soe Hok Gie dan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara”
Mang Oejank Indro

Padepokan Ki Hadjar Dewantara
“Aku adalah orang Indonesia Biasa
Yang Bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia[1]
Salah satu rangkaian kalimat diatas adalah ungkapan Ki Hadjar Dewantara kepada seorang anaknya – Bambang Sokawati Dewantara – yang akan pergi ke Jakarta, untuk memenuhi panggilan pekerjaan sebuah surat kabar. Kejadian itu kurang lebih dua bulan sebelum denyut nadi Ki Hadjar Dewantara berhenti untuk waktu yang tidak terbatas. Sebuah padepokan – yang juga tempat tinggalnya – Ki Hadjar Dewantara, sosok revolusioner yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat sekaligus bapak pendidikan Indonesia itu menghabiskan sisa waktu di akhir hidupnya.

Tanggal kelahirannya – 2 Mei 1889 – ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional – Meskipun beliau mungkin tidak menginginkannya. Pria kelahiran Yogyakarta ini terlahir untuk mengabdi dan berjuang untuk bangsa Indonesia. Pemikiran dan perjuangannya dibidang pendidikan dan kebudayaan membuatnya dengan ringan hati melepas gelar kebangsawanannya. Sebuah gelar yang sangat sakral – yang diperebutkan banyak orang – rela dikorbankan Ki Hadjar Dewantara untuk bisa lebih dekat dan harmonis dengan semua kalangan masyarakat.

Empat tahun setelah kepulangannya dari negeri belanda, Ki Hadjar Dewantara dan sejumlah tokoh pejuang lainnya mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Bersama Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk Indonesia.
Pada tahun 1932 pemerintah kolonial Hindia-Belanda – dengan Staatsblad No. 494/September 1932 – menerbitkan Undang-undang yang dinamakan Wilde Scholen Ordonatie (Undang-undang Sekolah Liar). Undang-undang – yang berlaku mulai 1 Oktober 1932 – tersebut merupakan ordonasi untuk mereka yang hendak menyelenggarakan pendidikan atau hanya ingin sekedar mengajar di sekolah-sekolah, harus mengantongi izin tertulis dari pemerintah dan harus memenuhi persyaratan – antara lain – bahwa setiap pemohon harus orang yang dapat di percaya pemerintah.

Tepat tanggal 1 Oktober 1932. Ki Hadjar Dewantara melayangkan surat[2] ke pemerintah Gubenur Jendral Hindia-Belanda di Bogor. Surat itu membangkitkan semangat nasionalisme dan edukasi yang tinggi. Terbukti dengan banyaknya penolakan dari lembaga pendidikan dan partai politik di tanah air. Hanya empat bulan setelah ordonasi tersebut, tanggal 23 Pebruari Pemerintah Hindia-Belanda mencabut ”Undang-undang Sekolah Liar” tersebut[3].
Banyak nilai luhur yang terangkum dalam sosok Ki Hadjar Dewantara. Perjuangan dan dedikasi seorang intelektual, kapabilitas, dan konsistensinya begitu dahsyat. Nilai-nilai inilah yang harus ditanam di jiwa dan tubuh mahasiswa di Milenium sekarang.
Tiga semboyan beliau – tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) – merupakan wujud nyata tatanan keilmuan, keluhuran, dan kecerdasan spiritual-inteletual sang Bapak Pendidikan. Pandangan dan pemikirannya selalu berdasarkan nilai-nilai kebangsaan kebudayaan, dan kekeluargaan. Dengan pandangan dan pemikiran tersebut beliau mencoba menghapus paham-paham individualis yang tertanam pada sebagian masayarakat Indonesia.

GIE, Pohon Oak yang Berani Menantang Angin
Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production adalah 2 dari banyak orang yang memperkenalkan semangat perjuangan seorang pemuda tamatan Universitas Indonesia yang tulang belulangnya di kremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango[4]. Mereka menghormati perjuangan sang pemuda lewat film “GIE” yang di bintangi Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi, dan Thomas Nawilis. Film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan pemuda kelahiran 17 Desember 1942 keturunan Cina dari hasil perkawinan Soe Lie Pit – seorang novelis – Nio Hoe An.
Soe Hok Gie[5], pemuda yang suka melahap cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer semenjak dibangku SD ini tidak mengenal ragu dan takut untuk melawan ketidakadilan. Jalur perjuangannya tegas dan jelas – namun tidak muluk-muluk. Gie sepertinya bahagia mati muda? Atau dia sudah mengetahui kematiannya? Salah satu quote dari catatan hariannya. “ Seorang filsuf Yunani pernah menulis. ….. nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Dan dia benar-benar mewujudkan kebahagiaan – mati muda akibat gas beracun Gunung Semeru – itu. Seorang legenda memang banyak yang mati muda bukan?
DR. John Maxwell dalam bukunya “Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani” menjelaskan dengan bahasa yang berapi-api dan lugas tentang pemuda oposisif dan sulit diajak kompromi dengan oposisinya ini. “Dia adalah seorang mahsiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meningal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional.” Ujar DR. John Maxwell.
Meskipun banyak dari teman-teman seangkatannya – terkenal dengan Angkatan 66[6] di Bandung – banyak yang lupa dengan visi dan misi awal perjuangan Angkatan 66, Gie tetap dengan konsistensi dan teguh terhadap apa yang diperjuangkannya. Gie adalah kiblat ideologi perjuangan mahasiswa Indonesia.
Salah satu buku – kumpulan catatan Gie sejak 4 Maret 1957 sampai 8 Desember 1969 – Gie yang diterbitkan LP3ES tahun 1983 dengan judul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran” adalah buku – tebal 494 halaman – yang wajib di baca semua mahasiswa se-Nusantara. Idealisme khas seorang mahasiswa termaktub dalam rangkain kalimat-kalimat Gie. Buku lain yang ditulis oleh Gie adalah Zaman Peralihan (Bentang, 1997), Di Bawah Lentera Merah (Bentang, 1999), dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan – skripsi S1-nya yang mengulas pemberontakan PKI di Madiun – yang juga diterbitkan Yayasan Bentang pada tahun 1997.
Nama Soe Hok Gie tidak pernah muncul dalam buku sejarah sekolah – mungkin sengaja tidak dimunculkan. Namun Gie adalah fenomena bersejarah dunia pergerakan mahasiswa Indonesia. Kita mengenal Ki Hadjar Dewantara dengan 3 semboyannya, kita memiliki semangat pergerakan Soe Hok Gie.
Cuplikan catatan Soe Hok Gie yang mampu membuka gerbang pergerakan di sanubari mahasiswa adalah :
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
Masih banyak catatan Soe Hok Gie yang membakar mental kita, membuka cakrawala pandangan kita. Karena mahasiswa Indonesia adalah Iron Stock[7] Bangsa Indonesia.
****
Mencoba Ber-Komparasi
Soe Hok Gie dengan perjuangan dan pergerakan idealisme “kemahasiswaannya” membawanya menembus tirani dan “penjara” pemerintahan orde lama maupun orde baru.
Ki Hadjar Dewantara dengan “Trias” semboyannya mampu menemukan identitas pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hasil karya intelektual kedua “legenda” Indonesia yang hidup dan beradaptasi dengan atmosfir pendidikan, kebudayaan, dan – mblegedes – politik pemerintahan.
Merevolusi kesadaran. Itulah sebenarnya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif adalah bagian dari salah satu tugas intelektual – seluruh – mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie – dengan idealisme struktural yang “kekal” – dan Ki Hadjar Dewantara – dengan edukasi bertandensi cultural – yang "baru"?
Sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa, adalah bagaimana mengembalikan ruh – idealisme – gerakan mahasiswa pada hakekatnya. Sebagai gerakan yang progresif, kritis dan independen, dengan begitu maka akan terwujud terbangun tatanan demokrasi yang kita idamkan.
Karakter yang menarik dari semua aktivis gerakan mahasiswa adalah mereka yang memenuhi persyaratan[8] :
  1. Mempunyai prestasi akademik yang baik (IPK diatas rata-rata).
  2. Basic organisasi yang kuat, karena mengalami pengkaderan yang berjenjang dari tingkatannya, bukan aktivis instant yang hanya mengejar popularitas sesaat.
  3. Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya.
  4. Mampu me-manage (mengatur) waktu, bukan waktu yang mengaturnya.
  5. Mampu menuangkan pokok pikiran dan ide-ide nya kedalam tulisan. Gerakan penyadaran tidak hanya dalam bentuk aksi jalanan melainkan dalam bentuk tulisan – essai, tabloid, majalah, dan koran pelajar – juga.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria seperti diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai aktivis mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar, belajar dan belajar.



Daftar Pustaka

Madjid, “Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan Yang Merevolusionerkannya.” Dikutip dari majalah PROGRES No. 3, Jilid 2, 1992.
Riki, “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI 2006
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Kolom Biografi, “Biografi Soe Hok Gie (1942-1969)” 2009
Kolom-biografi,blogspot.com/2009/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html (18 Juni 2010).
Dewantara, Ki Hajar, “Ki Hajar Dewantara,” Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.


[1] Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989

[2] Isi surat tersebut antara lain: “..... Perkenankanlah saya mengingatkan bahwa setiap makhluk tak berdaya mempunyai naluri berlawanan menolak bahaya, demikian juga halnya kami karena dipaksaakan berlawanan secara keras selama-lamanya dengan cara diam.”
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989
[3] Stlb. No. 18/23 Pebruari 1933 Pemerintah Hindia-Belanda.
[4] Gunung tertinggi kedua di Jawa Barat, 3.019 mdpl.
[5] Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokian dari namanya Su-Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi).
[6] Sebutan untuk tokoh perakan pemuda pasca Angkatan 45. Antara lain : Soe Hok Gie, Akbar Tandjung, dan Cosmas Batubara.
[7] Label prestisius untuk mahasiswa: Agent of Change, Agent of Control, Iron Stock. Dan label-label lainnya. Emanuel Kant.
[8] Portal Berita Perpustakaan UPI, Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah; Posted on Wednesday, October 06 @ 13:27:20 WIT by riki

Monday, August 30, 2010

Tridharma Perguruan Tinggi Vs Tut Wuri Handayani

Mang Oejank Indro

Dalam esei kali ini, penulis sengaja ingin membedah, mengkaji, dan mengkodifikasikan essensi tridharma perguruan tinggi (PT) dan pembelajaran. Namun, esei ini didasarkan pada sudut pandang penulis selama “hidup” dalam lingkungan akademik perguruan tinggi. Sekitar bulan November – saya lupa tangalnya – tahun lalu, penulis mendapatkan kesempatan memberikan wacana tentang PT di Sekolah Tinggi Teknik Qomaruddin Gresik (STTQ Gresik). Kebetulan tema yang penulis sampaikan tidak jauh berbeda dengan tugas yang disodorkan panitia PSA-MABIM FIB UI 2010 kali ini.
Perguruan tinggi, menurut KH. A. Sounhadji, M.A, Ph. D, adalah sebagai pusat intelektual dan pusat kebudayaan. Kerr. C, 1982 dalam “The use of University” memaparkan bahwa terjadi transformasi – perguruan tinggi – yang semula sebagai masyarakat master dan mahasiswa sehingga dinamakan universitas modern. Yaitu PT yang secara sadar berorientasi kepada penciptaan pengetahuan baru, yang mendorong tumbuhnya penelitian-penelitian kreatif dan bermanfaat. Pada tahun yang sama. Thellin, 1982, mengartikan PT adalah pusat pengembangan disiplin ilmu melalui program pasca sarjana, pelaksanaan seminar-seminar ilmiah, penelitian dan pengembangan, konsorium dan penerbitan jurnal-jurnal professional. Perguruan tinggi sebagai saga organisasi, suatu pemahaman kolektif terhadap aktifitas-aktifitas yang unik, didasarkan atas sejarah, norma-norma, tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di dalam dan diluar negeri. Pendapat terakhir dikemukakan oleh Clark, 1986. Dari beberapa definisi tentang perguruan tinggi diatas, essensi tridharma perguruan tinggi – dengan tiga butir poin – di Indonesia sudah mewakili beberapa definisi diatas. Apa sebenarnya tridharma perguruan tinggi?
Tridharma Perguruan Tinggi
Dekade awal di abad-21, essensi tridharma PT, menurut penulis, masih mendapat tempat yang teduh di dalam “gerbong-gerbong” PT di Indonesia. Pemerintah sebagai lokomotif – dengan M. Nuh sebagai masinisnya – terbukti stabil melintasi rel pendidikan nasional. Selanjutnya rangkaian “gerbong” PT akan memasukli stasiun intelektualitas global. Lalu bagaimana essensi tridharma PT mampu menjadi “amunisi” menghadapi gempuran percaturan intelektualitas global? Siapkah SDM hasil “cetakan” PT nasional melakukan action? PT dan komponennya – termasuk mahasiswa, dosen, ilmuan, dan pemerintah – adalah jawabannya. Generasi muda bangsa adalah essensi objektif dari tridharma PT.
Dimulia dari tujuan pendidikan berdasarkan PP No. 60 tahun 1999 tentang PT pasal 1. Tujuan pendidikan yang pertama adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Tridharma perguruan tinggi (PT) memiliki tiga mata rantai. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Perkins, 1986, menjelaskan bahwa tridharma PT mengacu pada tiga aspek pendidikan – yang cenderung memasuki wilayah pendidikan dan pengajaran. Tiga aspek tersebut adalah aquicition (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan). Ketiganya akan memiliki ketergantungan dan keterkaitan yang melengkapi.
Membicarakan tridharma PT, penulis lebih senang memosikan diri sebagai pelaku kebudayaan pendidikan – bukan berarti harus menjadi budayawan. PT sebagai multiversitas memang menjadi warehouse pendidikan yang didalamnya hidup masyarakat akademisi dan non akademisi. Di dalamnya bisa kita temukan mahasiswa, ilmuan, professional, non-akademis dan administrator. Selain itu, di dalam warehouse pendidikan juga berisikan corak dan “belang” kegiatan akademis. Dimulai dari pengajaran, memajukan pengetahuan, mengembangkan metode penelitian, memperluas kesadaran berbangsa, pengabdian kepada masyarakat. Mungkin masyarakat akademik dan non-akademik dewasa ini, dengan kegiatan di atas, belum semuanya bersinergi dengan baik. Prof. H. A. R. Tilaar menyodorkan “manifesto pendidikan nasional” untuk kembali melahirkan asas Tut Wuri Handayani. Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru berarti kebijakan yang baru.


Tut Wuri Handayani
Pedagogik libertarian yang “diracik" Prof. H.A.R Tilaar merupakan prinsip yang “fitrah” dari asas pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Sehingga posisi pendidik sebagai pembimbing – yang selalu didepan – akan bergeser menjadi pendorong dari belakang, yaitu Tut Wuri Handayani itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut pandangan oppositional pedagogy tulisan Gregory Jay dan Gerald Graft, A Critique of Critical Pedagogy – yang saya kutip dari buku Prof. H.A.R Tilaar – menyatakan bahwa pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa – Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Sudah saatnya mahasiswa Indonesia “ngaji” Tut Wuri Handayani serta memosisikan pendidikan didalam tradisi, tanpa harus berpandangan tradisional. Salah satu dari prinsip inside out yang ditawarkan Prof. H.A.R Tilaar mungkin wajib ditanamkan dalam jiwa mahasiswa Indonesia sekarang juga, yaitu proses belajar yang dialogis dengan menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani yang mencakup tiga wilayah garapan; life sciences, natural sciences & technoloy, dan information sciences. Ketiga “lahan” garapan tersebut akan subur jika generasi mudanya mampu mengelola dengan baik. Namun “lahan” garapan tersebut akan puso apabila generasi penerusnya tidak mampu mengolah dengan baik. Dengan demikian, hardcore mahasiswa Indonesia yang Indonesia akan lahir.
Bahan Rujukan :
Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional.” Dalam Artikel Untuk Negeri. Tabloid Prospek 2010. Surabaya: Global-Indo Media.
Riki, 2006. “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI.
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Fauzan S, Iswanda, 2009. “Modul Pengenalan Perguruan Tinggi.” Gresik:STTQ Gresik Perss.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...