Penyajian
informasi pada dasarnya tebagi menjadi dua bentuk utama, lisan dan tulisan.
Penjabaran yang mudah untuk memahami konsep penyajian informasi dapat dilihat
dari sifat multidisipliner ilmu informasi. Uraian dari Putu Laxman Pendit
(2006), menyebutkan beberapa aspek dalam ilmu informasi: teori informasi, informetrika dan bilbliometrika, information
retrieval, sistem informasi, teori kognitif, perilaku informasi, masyarakat
informasi, dan kebijakan informasi. Dari delapan aspek tersebut, layanan
informasi sangat dipengaruhi oleh sistem
informasi, perilaku informasi, masyarakat informasi, dan kebijakan informasi.
Sistem
informasi merupakan aspek terpenting dalam layanan informasi. Information Richness Theory (IRT) yang
dikemukakan Daft dan Lengel (1986) menjelaskan bahwa organisasi perlu
menggelola informasi. Persoalan yang selalu dihadapi organisasi dalam kaitannya
dengan informasi adalah ketidakpastian (uncertainty)
dan ketidakjelasan (equivocality).
Jauh
sebelum Daft dan Lengel mengemukakan IRT, pembahasan layanan informasi sudah
diperbincangkan di kalangan pekerja ilmiah. Tepatnya ketika diselenggarakannya
Royal Scientific Conference pada tahun 1948 di Inggris. Studi tentang penyajian
informasi di London Science Museum Library adalah salah contohnya. Studi
tersebut didahului oleh serangkaian studi tentang perilaku informasi.
Keterkaitan
aspek informasi dan penyajian informasi memang seringkali muncul diantara
lembaga informasi dan setiap organisasi. Permasalahan yang biasanya muncul adalah Uncertinty dan equivocality. Salah satu lembaga informasi yang sedang mengalami
persoalan tersebut adalah museum. Museum seringkali kesulitan dalam proses
penyajian informasi yang sebabkan oleh material koleksi. Umumnya, material
koleksi museum adalah benda-benda yang bersifat lampau dan dibuat pada waktu,
situasi, serta pada masyarakat dengan struktur kognisi yang berbeda dengan
kondisi masyarakat sekarang.
Kondisi
demikian digambarkan oleh Dervin (1992) dalam model “Sense Making” yang terdiri
dari empat elemen dasar yang terdiri atas; situation,
cognitive gap, outcome, cognitive bridge. (Dervin, 1992:28)
Persoalan ketidakjelasan informasi (information
equivocality) biasanya muncul ketika pengguna/pengunjung museum berhadapan
dengan material museum (seni, sejarah, dan sains). Penggambaran Dervin tentang cognitive gap didasari faktor ruang dan
waktu, sehingga proses penyebaran informasi terganggu (noise). Hal ini kemudian menjadi fenomena yang perlu mendapatkan
perhatian khusus dari museum supaya penyajian informasi dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.
No comments:
Post a Comment