Analisis Karya Lukis Nasirun Menggunkan Teori Semiotik C.S. Peirce
Religiusitas seorang
manusia memang memiliki implikasi yang kental terhadap khazanah imajinasi dan
kreatifitasnya. Aspek ‘ke-Tuhan-an’ membuat seseorang melepas batas
antar-manusia dan menembus ruang iman, sehingga ia menemukan cara yang nyaman
untuk berinteraksi dan menikmati kedekatan dan bhakti dengan Tuhan. Ekspresi
mendekatkan diri tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai media dengan
menggunakan beragam citra, teks, bunyi-bunyian, dan tubuh. Citra seputar tubuh
sering digunakan dalam karya seniman untuk mengungkapkan emosi, pesan, hingga
moralitas. Oleh karena itu, tubuh dapat dikatakan sebagai sebuah sistem simbol.
Ungkapan tersebut dijelaskan oleh Mary Douglas (1966) dalam buku “Purity and
Danger”. Tahun 1970, melalui karyanya “Natural Symbol”, Douglas kemudian
mengembangkan sistem simbol (tubuh) menjadi dua bagian; the self (individual body) dan the
society (the body politics).
(Cahyana, 2009: 18)
Penjabaran the body politics menyasar pada
bagaimana pembentukan tubuh secara fisik dirasakan. Artinya, fisik tubuh selalu
dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah di ketahui – berdasarkan
pandangan masyarakat. Mike Featherstone (1992) mengemukakan dua kategori
kelompok pembentukan tubuh; tubuh dalam
dan tubuh luar. Tubuh dalam
menitikberatkan pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi
maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan. Skema biologis sangat
kental pada kategori ini, dan tubuh dipandang dalam aspek alamiah. Sedangkan tubuh luar diterjemahkan sebagai
aktivitas tubuh terhadap hubungannya dengan ruang sosial. Kategori ini
melibatkan dimensi estetik dan nilai-nilai moral. (Fearherstone, 1992: 18).
Berdasarkan pandangan
Featherstone di atas, tubuh luar manusia dapat mengekspresikan kepribadian di
dalam ruang sosial – yang mencakup budaya dan struktur koginisi masyarakat. Hal
ini dapat diungkapkan melalui cara komunikasi manusia dengan memperhatikan
gestur tubuh. Cara komunikasi tersebut tidak hanya dilakukan antar-manusia
semata, hal tersebut juga berlaku ketika manusia berinteraksi dengan Tuhan. Menurut
Goerge Boeree (2008), dalam Cahyana (2009), gestur-gestur tersebut kemudian
diinternalisasi oleh beberapa seniman sebagai ungkapan – dengan nilai-nilai –
ibadah kepada Tuhan. Selain dapat merepresentasikan aspek hubungan dengan
Tuhan, gestur juga merepresentasikan hasil kebudayaan sebuah masyarakat. Istilah
ini sering disebut body language.
Seniman sering
menggunakan tubuh sebagai bahan ekspresi atas kehadiran karya seni. Karya
patung dari masa Arkaik Yunani, Spinx di Mesir, hingga gambar-gambar manusia
purba di dinding-dinging gua. Pada karya lukis, kita menemukan Picasso dengan
penggambaran peremupan dalam gaya kubistik, Frida Kahlo yang melukiskan tubuh
dengan perangkap besi, dan Affandi yang dengan spontan menghadirkan keindahan
tubuh. Dengan demikian, tubuh merupakan media komunikasi yang cukup favorit
bagi seniman. Baik dalam segi keindahan visual ataupun ungkapan makna dari
‘tubuh’ itu sendiri. Seorang pelukis
Indonesia yang mengolah tubuh dan hasrat kebudayaan dalam sebuah karya lukis
adalah Nasirun. Meskipun ia tidak melulu terobsesi akan tubuh, ia menjadikan
tubuh dan kognisi budayanya sebagai media untuk mengungkapkan ‘rasa
bhakti’ terhadap Tuhan. Hal itu dapat
dilihat melalui lukisannya dalam pameran bertajuk Salam Bhekti tahun 2009. Pada
pameran tersebut, beberapa lukisan Nasirun memiliki tema ‘ketuhanan’ yang ia sederhakan dengan istilah ‘salam
bhekti’. Seperti tertuang pada karyanya, Sembahyang
(2009), Kia Narsisrun (2009), Jagad Bumi (2009), Ngilo (2009), Mengheningkan
Cipta (2009), dan Salam Bhekti (2009).
Atas dasar tersebut, Penulis
tertarik untuk menganlisa keenam karya tersebut. Relevansi kerohanian dan
kentalnya unsur budaya secara kasat terlihat dari beberapa lukisan tersebut.
Namun, lebih lanjut jika dianalisa menggunakan teori semiotik dari C.S Pierce,
karya tersebut akan memberikan pandangan baru yang dalam dan indah. Hal ini
berkaiatan dengan sosok Nasirun yang dikenal sosok seniman bersahaja dan
sederhana, selalu mengatasnamakan ‘dzikir’ dalam hal berkesenian. Ekspresi
‘dekat dengan Tuhan’ tersebut menjadi modal utama dalam berkarya. Bagi Nasirun, berkarya lebih mirip sebagai cara
beribadah. Ia dengan sadar mengakui Islam dan Jawa sangat kental dalam dirinya.
Proses kreatif Nasirun “menyadap getah mitologi yang kemudian diolahnya menjadi
kekayaan lokal, tetapi bernilai universal.” Tidak mengherankan jika Nasirun
hadir dengan simbol-simbol dan fitur Jawa dan Islam, tidak lupa sosok wayang
yang disajikan kembali dengan memuat nilai modern. Prosesnya sederhana, tapi
kedalaman nilai dapat ditemukan. Hal ini – mungkin – disebabkan start awal Nasirun yang mengusung
tradisi dan mitologi ke ranah kontemporer melalui proses interpretasi secara
konsisten, segingga kedalaman nilai karyanya dapat dinikmati dan ditemukan
(rasa).
Teori Semiotik C.S. Peirce
Dasar istilah semiotik
yang diungkapkan Pierce pada akhir abad XIX adalah konsep tentang tanda itu
sendiri. Pierce menggunakan Tanda dan denotatumnya dan fokus pada tiga aspek
tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan).
Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan
petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.Konsep
semiotik ini memiliki skema bentuk dasar segitiga (triadic) dengan cabang di
ketiga sudutnya (trichotomy). Skema ini digunakan untuk menganalisa objek
visual.
Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat
reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something
that represent ssomething else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce
mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object
(O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi
secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O).
Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter
-pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai
suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut
semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda
menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
No comments:
Post a Comment