Sunday, February 27, 2011
HUKUM KATUP : Kemampuan Memimpin Menentukan Tingkat Keefektivan Seseorang
Tuesday, February 22, 2011
Garuda Siswa
Bagian I : Kisah Kampungku
Jemariku mulai merayap. Mengalir bulir-bulir tinta
dari pena berwarna hijau yang sudah mulai usang. Disebelahku tergeletak
beberapa buku pelajaran sekolah. Aku hanya remaja yang menapaki jejak masa
depan dengan pendidikan. Berupaya dengan gembira tanpa lelah mengunyah
pengetahuan. Bercita mencari kehidupan yang indah setelah menikah.
Berfantasi sejenak. Aku sedang membayangkan beberapa
sahabatku yang sedang menikmati masa muda mereka. Setidaknya hal itu tidak
sering aku lakukan. Mereka adalah Asep Abdurrahman, Gito Iskandar, dan M.
Rokhim. Sudah lama kehidupanku diwarnai oleh ketiga orang ini. Semenjak duduk
di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas (SMA) kami selalu
bersama.
Sudah hampir tiga belas tahun aku dan mereka
menyandang predikat sahabat. Banyak hal yang pernah kami lewati bersama. Asep Abdurrhman adalah seorang remaja yang
lahir dari sepasang manusia yang bekerja sebagai tukang jahit keliling.
Terkadang banyak baju dan beberapa celana dijahitnya. Kemampuan Asep dalam hal
menjahit memang tidak diragukan lagi. Sejak usia 9 tahun ia sudah akrab dengan
jarum dan benang. Bahkan kemampuan menjahitnya lebih baik dari sang ayah,
Trisno.
Berbeda dengan Asep, Gito adalah putra tunggal yang dibesarkan
oleh ayah semata wayangnya. Ya, ibunya meninggal ketika berjibaku
melahirkannya. Rumah Gito hanya berjarak 10 meter dari rumahku. Kata bapak, aku
dan Gito sering bertengkar waktu kecil. Sejak kecil Gito sering dititipkan
ayahnya dirumahku. Ayah Gito adalah tukang sapu jalan Tol Manyar-Surabaya, dan
sudah bekerja selama 20 tahun. Meskipun usianya sudah senja, ayah Gito tetap
bugar dan suka menggoda janda kampung sebelah.
Sahabatku yang lain adalah Rokhim, atau akrab
dipanggil Ochim, ia anak seorang pemulung kelas kakap. Orang tua Rokhim
merupakan pemulung tertua di kampung ini. Mereka sudah menghabiskan 40 tahun
hidup mereka sebagai pemulung. Ochim memiliki adik perempuan yang cantik.
Namanya Khomsah, paggilan kerennya Ocha. Seperti kebanyakan gadis desa yang
lain, Ocha sudah di inden oleh anak
juragan beras kaya desa sebelah. Padahal aku sebernya menaruh hati kepadanya
****
Malam ini aku, Gito, Asep, dan Ochim berencana melihat
pertunjukan wayang kulit di balai desa. kali ini dalangnya adalah dalang nomor
wahid di kecamatan Bungah. Asep memakai sarung dan peci hitam agak kumal, aku
tahu kalau sarung dan peci itu belum kering. "Sep, awakmu gak suker t cok gawe sarung karo peci model ngunu iku?"
Tegur Gito.
"Biasa wae
tel, g usom jaim-jaim jaman milenium"
"Eh, Chim, Katok
mu bolong yo dus? nyungkan-nyungkani wae,
cok!" Gerutuku.
“Hahahaha. Ora opo-opo, supaya gampang kalau
pipis.” Jawab Ochim.Bersambung....
Meratas Kehidupan Sang "Kiai" Teater Sekolah Gresik
-->
Rambutnya kok Gondrong!
Bulan Oktober 2006, sore
hari di bawah pohon asam besar yang terpatri di depan kantor Yayasan Pondok
Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik, sejumlah orang sibuk merentangkan
tangan sambari tergesa-gesa membentuk lingkaran. Tiupan angin yang menyelinap
masuk dari balik gedung SMA Assa’adah – yang mirip huruf L – menggoyangkan
lebat rambut seorang pria canggung, agak gemuk di perut – buncit lebih
tepatnya. Hanya ada beberapa gelintir orang yang antusias “meringkuk” menikmati
lantunan instruksi dari pemuda yang ke-tua-an ini. Sambil menyilangkan kaki
seperti orang berdzikir, beberapa orang melirik ke tempat saya melakukan aksi
pengawasan. Daya tarik apa yang membuat saya segera bergabung kala itu?
Entahlah.
Dari pergumulan singkat
itulah, segelintir teman baru, ilmu baru, dan lingkungan baru menjadi menu
utama konsumsi ke-duniawi-an saya selanjutnya. Sejak awal, saya berpikir pria
dengan rambut mencapai 60 cm ini bukan orang biasa. Pria kelahiran Gresik 19
Oktober 1973 ini menyihir kotak pemikiran saya. Pertemuan di bulan pertama saya
setelah pindah sekolah dari SMA Unggulan Darus Sholah Jember pimpinan Gus Yus –
KH Yusuf Muahammad, wafat dalam kecelakaan pesawat di Solo tahun 2004 –
ternyata berlanjut sampai detik ini. Pengaruhnya untuk pribadi insan teater
sekolah Gresik memang terbentuk dari pecahan pemikiran pria lulusan Universitas
Negeri Jember ini. Sosok kalem, bebas, luwes, mengingatkan saya pada Mahatma
Gandhi.
Wednesday, February 9, 2011
Menapaki Jejak Sang Guru Bangsa
Abdurrahman Wahid, presiden
ke-empat Republik Indonesia ini memang memiliki daya tarik dan kecermelangan –
juga kejeniusan – diatas rata-rata. Resensi ini berkutat tentang buku karya
Greg Barton yang berjudul”Gus Dur: The
Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid” terbitan LKiS tahun 2002. Buku yang diterjemahkan oleh Lie
Hua ini membredel sosok Gus Dur dari proses yang berbeda disbanding penulisan
buku tentang Gus Dur lainnya. Selain pendekatan dengan membaca litaratur
seputar Gus Dur dan melakukan penelitian, Greg sengaja menfokuskan penulisan
biografi ini pada keterangan subjeknya sendiri, yaitu Gus Dur. Greg Barton
memang mendapatkan momen yang pas dalam penulisan biografi Gus Dur – yang
sebenarnya adalah sebuah penelitian tentang pengaruh liberalisme Islam dan
sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi.
Ke-nyelenehan Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai dan
pembesar NU (Nahdhatul Ulama) itu. Dalam hal intelektual dan keilmuan, tak
dapat dipungkiri beliau adalah orang super cerdas dan memiliki ingatan yang
tajam. Buku boigrafi yang memiliki lima
pokok bahasan dan dua belas sub-pokok bahsan ini menfokuskan perjalanan Gus Dur
dalam kerangka politik. Dalam pokok bahasan awak, Greg membeberkan konstuksi
pemikiran Gus Dur dari sejak kecil sampai ketika Gus Dur berkelana ke dataran
Eropa. Pada pertengahan buku, sajian yang dihidangkan Greg adalah konsepsi
Islam, tradisi, dan modernisasi dalam pemikiran Gus Dur. Tidak lupa Greg juga
menerangkan secara gamblang proses Gus Dur mengawal Reformasi 1998, ketika
menjadi presiden, dan pasca menjadi RI-1 di tahun 2001.
Panggil Saja, Mang Oejank Indro!
"Saya hanya orang Indonesia biasa,
yang belajar
dan bekerja dengan cara Indonesia,
untuk
Indonesia.” Mang Oejank Indro
Berkelakar Sejenak
Penggalan kalimat diatas
adalah sebuah identitas tentang seorang remaja 19 tahun yang sekarang sedang
berselancar menuai ilmu di Universitas Indonesia, Iswanda Fauzan Satibi – yang
sebenarnya penulis sendiri. Sebuah kesalahan jika saya menorehkan beberapa
kalimat dalam tulisan ini tentang kearifan, dan kebaikan. Masih terlalu dini, atau
mungkin terlalu keriput. Hanya ruh diluar tubuh saya yang mampu membeberkan
semua tentang saya. Jadi, tema esai yang di usung panitia UISDP kali ini –
menurut hemat saya – sangat “kurang ajar.” Namun, sebagai peserta, saya hanya
mencoba membalikkan pembiaran kesalahan menjadi benar-benar kesalahan, dengan
tujuan mereka – maksudnya panitia UISDP – tahu siapa saya dan apa saya
sebenarnya.
Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Agaknya sub judul ini
terkesan mengecoh kita pada buku karangan KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal
dengan panggilan Gus Dur. Memang saya ABG (Anak Buah Gus Dur). Tokoh unik satu
inilah yang menyuburkan keinginan saya untuk “menjadi Indonesia” di Indonesia. Selain
Gus Dur, kelambu pemikiran saya terseret juga ke dalam kendi pemikiran KH.
Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, Emha Ainun Najib, almarhum Cak Nur
Kholis Majid, Soekarno, Hatta, dan terakhir – pastinya bukan Pak Beye – M.
Natsir. Mereka adalah manusia-manusia
yang benar-benar Indonesia, karena itu saya banyak menaruh cinta pada mereka.
Narasi untuk Sang Pemilik Jalan Ke Surga dan Panglima Keluarga
Sebuah karangan singkat ini tidak
akan cukup untuk menuangkan sebuah ikatan saya – seorang anak pertama – kepada
kedua orang tua saya. Hampir selama sembilan belas tahun ditambah tujuh bulan –
karena saya lahir preamatur, saya mulai menikmati kerumunan kasih sayang dan
jeratan cinta sang panglima dan ratu keluarga.
Harus dimulai darimana?
Pertanyaan itu yang semilir mengintai di otak kananku ketika berusaha menguntai
beberapa kalimat tentang dua orang ini. Pernyataan paling mudah adalah mereka
lebih murah dari apapun di muka bumi, bahkan udara pun tidak lebih murah dari mereka. Ke-murahan mereka untuk sabar,
tulus, jujur, sakit, lelah, dan banyak hal lainnya menjadi “barang” yang tidak
perlu kita pikirkan untuk menggunakannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL
RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...
-
BAGIAN II – Demo & Lapar Setelah beberapa menit beregangkan otot di rest area , saya pun meninggalkan Heathrow Airport ...
-
--> Dua hari sebelum wawancara dengan Oki Setiana Dewi, saya melanyangkan sms singkat kepadanya. “Maaf, kak Oki, saya Oejank dari me...