Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di
http://mangoejankindro.blogspot.com
Semua dianggapnya sempurna. Meskipun ada yang salah, ia hanya menggeleng-geleng
kepala. Lalu menjauhkan rasa dengki. Tanpa ada kata yang terlontar. Membisu
saja. Padahal, usianya sudah baligh. Sekarang ia sudah jadi mahasiswa di
universitas ternama di Indonesia. Semoga sikap lugu dan
neriman tidak sepenuhnya segan ia budayakan. Jika terus-terusan
seperti ini, ia akan terbiasa dengan intimidasi dan mudah ditarik oleh lingkungannya.
Entah mengapa ia bertingkah seperti keledai dungu. Hanya diam saja. Seperti awal
semester ini, disaat sejumlah penerima beasiswa sedang gaduh menuntut
pencaiaran dana biaya hidup (
living cost),
ia hanya mesam-mesem. Apa ia tidak memikirkan nasib ketiga adiknya yang
menggantungkan makan dari keringatnya? Apa ia tega melihat ibunya
berpanas-panas menikmati sengatan matahari di tengah sawah. Itu jika musim
kemarau, kalau musim hujan, ibunya harus menggigil berbalut air hujan. Tidak
cukup malukah ia dengan semua ini? Daripada jauh-jauh kuliah dengan
menggantungkan beasiswa. Sedangkan keuarga tertati menghidupi diri jauh di
pelosok desa.
Samidun nama sahabatku itu. Selama ini, ia menetap satu kamar denganku.
Aku yang menanggung biaya kosnya. Termasuk biaya tambahan listrik dan
sebagainya. Setahuku, ia hanya membawa dua stel baju tiga kaus dalam, dua
celana dalam, dan dua celana. Salah satu celananya pun sudah
bertaburan tambalan. Lebih parah lagi, resleting celana
tersebut rusak, dan setiap kali ia mengenakannya, dengkulnya selalu terjuntai
murka keluar. Naas dan tragis memang hidupnya.
“Dun, kamu itu lho, hak kamu itu sudah di cederai. Kok malah nyantai,
leha-leha, koyok wong sugih aja.” Malam ini aku menegurnya. Sengaja aku memecah
konsentrasi belajarnya. Kadang-kadang aku getir sendiri. membayangkan ia dengan
tenang menjalani hidup, meskipun tidak tahu besok mau hidup dengan apa.
“Wo, hidup itu sudah ada yang ngatur. Nyantai aja. Hidup kok dibikin susah.” Jawabnya. Ia segera
menutup buku kalkulus 1 yang tebal itu.
“Lho, bukan gitu Dun..”
“Terus..?” Aku memotong.
“Kamu percaya tidak kalau Tuhan itu maha adil?”
“Yo mesti percaya…”
“Nah, itu, itu jawabnnya. Buktinya, aku
masih bisa hidup meskipun sekamar sama kamu.”
“Maksutmu opo cok? Ndak suka sekamar sama
aku?”
“Ha ha ha. Yo nggak apa-apa. Terimakasih.” Ia mletakkan buku
kalkulusnya di meja kecil. Antara kursiku dan kursinya. “Dun, adikmu, Sumi,
sudah lunas biaya ujiannya?” Tanyaku. Samidun mengangkat kakinya. Posisinya
seperti orang di warung kopi. Pandangannya memusat ke langit. “Woi, ngalamun.
Aku tanya cok!” Sengaja kubuyarkan lamunan Samidun. “Belum Wo, masih tunggu
beasiswa cair.” Jawabnya melas. Guratan dahinya mengkerut-kerut. “Hemmm, memang
Tuhan maha adil.” Gumamku. “Raimu, asu.” Aku hanya tertawa liar. “Makannya,
beasiswa itu hakmu, kalau memang yang member hak itu tidak melaksanakan
kewajiban, tanya dong! Jangan mbideg
saja.”
“Iya juga ya Wo, kalau kamu kuliah dikirim dari dari rumah. Lha aku,
malah ngirim ke rumah.” Samidun mengigau. “Memang Tuhan Maha adil.” Tuturku
singkat.
“Jancok, raimu Wo. Seneng lihat teman susah?” Samidun menyanggah.
“Mukamu memang muka susah.” Tukasku lantas tertawa.
“Waaah, kacau.”
“Eh, Dun, Samidun.. Tuhan memang
menyuruh kita untuk berusaha, tapi Tuhan tidak menuntut kita untuk berhasil.”
“Tumben kata-kata kamu putih, biasanya
keruh dan jorok.”
“Koyok raimu ndak aja Dun..!”
“Kalau aku masih demen sholat. Lha kamu,
perintah sholat wajib lima waktu, sing
dilakoni cuma telu.” Ujar Samidun
seraya menjitak kepalaku. “Oooo, asu!”
Hampir setiap malam, aku dan Samidun tidak pernah meninggalkan
rutinitas ngopi. Meskipun kopi
racikan sendiri. Rasanya tidak kalah dengan starbuck coffe yang mahal itu. Samidun
bukan orang bodoh, setidaknya itu yang aku tahu. Setiap Sabtu dan Minggu ia
habiskan hanya untuk menukar ilmunya demi rupiah. Hasilnya, ia bisa mengisi
perutnya dengan segumpal nasi dan pernak-pernik makanan lainnya. Urusan air
minum cukup isi ulang. “Wo, Minggu depan aku pinjem kemeja sama celana ya. Buat
ngajar.” Seperti biasa, Samidun selalu mengandalkan pakaianku dalam setiap jam
terbangnya mengajar. Sudah berulang kali aku merelakan beberapa baju dan
celanaku untuknya. Tetapi jawabannya selalu sama. “Sebentar lagi aku beli kok.” Hasilnya, selama setahun, ia tak
kunjung membeli baju, apalagi celana. Dasar Samidun.
Sebenarnya, menurutku, banyak Samidun-Samidun lain di sini, di
kampusku. Kampus berbintang nomor satu di negeriku. Tapi, Samidun yang satu ini
berbeda. Ia mengejar beasiswa untuk keluarga. Urusan makan dan minum sudah ia
dapatkan dari menjual ilmu di tempat-tempat kursus, dan kolom-kolomnya di koran
nasional. Memang berat bagi Samidun, ia harus menjadi ‘ayah’ bagi ketiga
adiknya, dan sekolah untuk masa depannya. Dalam benakku sangat yakin, kualitas
dasar kemanusiaan yang dimiliki Samidun akan sangat high qualified. Sayang sekali jika hanya karena orang-orang yang
memainkan hak orang lain, Samidun harus melihat adik-adik dan ibunya menggeliat
dalam persakitan ekonomi. Dan Samidun sendiri terganggu perjalanan akademiknya.
Pas awal menerima beasiswa, kata Samidun, ia dijejali berkas pernyataan yang
bermaterai. Di berkas itu ada poin-poin hak dan kewajiban antara penerima dan
pemberi beasiswa. Sayangnya, sampai saat ini penerima lebih diposisikan sebagai
‘isteri kedua’ daripada pemberi. Agamaku saat ini, mengajarkan bahwa hak
tetaplah hak, dan pemberi beasiswa itu tidak berhak merampas hak penerima.
Awalnya bilang A, ujung-ujungnya dilempar ke Z. Tentunya dibumbuhi alibi dan
alsan yang rasional juga. Tetap saja alasan. Di kampusku, hak seorang mahasiswa
kadang-kadang juga di buat mainan. Seperti hak Samidun. Dasar Samidun (siang
malam rindu dana turun).