Setelah kembali ke dunia nyata, Aisyah tidak banyak berubah. Mimpi yang
cukup buruk dan menyesakkan tidur malamnya. Rahmat, Inah, dan Rasmi semua hanya
mimpi. Mereka benar-benar tidak ada dalam perjalanan hidupnya. Juga pondok
pesantren Al-Harun, santri-santri dan Kiyai Soleh dan isterinya. Hanya bunga
tidur. “Masa bodoh, semua itu sekedar mimpi.”
Setelah basah kuyup karena guyuran ‘hujan’ air sisa cucian, ia mandi
lebih keras. Sabun colek yang tergantung pada pintu dapur ia sabet. Handuk bergambar
tokoh kartun Walt Disney, Donal Duck, ia selimutkan diatas kepalanya – meskipun
gambar tokoh kartun tersebut sudah sulit dikenali. Kamar mandi tidak jauh dari
dapur, hanya dipisahkan oleh sumur berdiameter 120 cm, yang digali sendiri oleh
mendiang bapaknya. Jalan ke kamar mandi dihiasi oleh batuan kali. Batuan itu
tertempel pada tanah. Hanya menempel. Sekelilingnya penuh dengan tanaman hias
yang terlihat buas. Anyelir, Adenium, Mawar hingga pohon pisang hidup dengan
damai disana. “Mak, airnya dihabisin siapa? Masak harus nimba lagi. Bisa-bisa Michele
Leigh McCool nyembah-nyembah sama aku.” Teriaknya dari dalam kamar mandi. Handuk
yang menempel di bahu kanannya ia gantungkan di sebuah paku yang menancap di
dinding kamar mandi. Disisingkan lengan kaos birunya. Sebelah kanan dulu. Yang kiri
mengikuti. Ia beranjak ke sumur. Meraih tali katrol sederhana dari tambang
bekas tali kambing. “Srutt..Kriek..Sruutt..Kriek” kira-kira seperti itu
bunyinya ketika Aisyah mulai mengerek tali. Pelan tapi pasti. Sebuah timba
bergantian keluar masuk. Pas masuk kedalam sumur timba itu kosong. Sebaliknya,
ketika keluar, timba sudah berisi air dari sumur. Mulailah gentong dalam kamar
mandi terisi air. Air yang mengalir dari sebuah saluran air dari bambu yang
dibelah dua dan dibersihkan buku-buku bambunya. “Ini tidak kalah sama fitness pakai
single station 15” Gumamnya.
Gentong terisi penuh. Aisyah terduduk di bangku dekat pintu dapur. Matanya
tertuju pada gedung apartemen Julang Mas yang baru diresmikan kemarin malam. Tidak
lama ia memandangi apartemen itu. Diambilnya air di dalam timba terakhir. Disiramnya
tanaman hias yang sedikit memiliki nilai estetika disekitar sumur tadi;pohon
pisang, anyelir, adenium, dan bonsai pohon asem yang berdaun ompong. “Duh, aduh...
Udah jam berapa Ais?” Tiba-tiba suara si Emak menggelegar. “Biasanya jam berapa
Mak?” jawab Ais. Emak segera memungut sandal jepit multi warnanya. “wussss…Plak!”
Lemparan pertama meleset. Pohon adenium berbunga merah blasteran putih tulang
menjadi korban ke ganasan sandal Emak. “Lho, Mak! Kasihan adeniumnya! Kan..”
belum sempat melanjutkan omongannya, Emak sudah memasang kuda-kuda. Seperti tokoh
pendekar dalam cerita-cerita karya Chin Yung. Alis Emak sudah mengkerut.
Matanya menjuling. Segera Aisyah melepaskan timba yang berisi sedikit air. Ia berlari
menerobos ke kamar mandi. Belum sempat Emak melepaskan sandal ke duanya yang
berwarna biru. “Slamet..slamet..!” Bisik Aisyah dalam kamar mandi.
Srrrrriiiiikkk…Gletak!!!...Byuuurr..!
Dan suara teriakan terdentum. “Aisyaaaaaahhhh!” Aisyah tersentak. “Ya.. Mak?”
Sahut Ais dari dalam kamar mandi. Kemudian kepalanya menjulur keluar dari balik
pintu. Celana boxer dan handuk biru tadi yang menempel ditubuhnya. Dilihatnya Emak
sedang basah kuyup dengan posisi kuda-kuda ala jago silat. Tentunya sandal jepit
biru ditangan kananya. “Lho? Emak kok mandi
lagi?” Imbuh Aisyah. Ia lantas masuk kembali ke kamar mandi setelah mendapat
lirikan tajam disertai muka suram Emak. Siulan tak berdosa pun segera bersua dari balik pintu kamar mandi. Disertai bunyi
deburan air dari gayung yang menabrak tubuh dan jatuh ke tanah.
**
Sebuah buku tulis dan catatan kecil dalam lembaran acak ia masukkan ke
dalam tas sekolah. Sebenarnya tidak seperti tas sekolah. bentuknya lbeih mirip
kantung beras putih yang bertali di sisinya, sehingga bisa digendong di balik
punggung. Kata orang-orang sih tas
gaul. Tapi Aisyah sudah memakai tas itu setika masuk SD 14 tahun yang lalu,
sekitar tahun 1994. Pas waktu anget-angetnya pelajaran P4, dan puncak kejayaan
Pramuka. “Nasi, tempe, kangkung, sambel. Emm.. enak nih?” Celotehnya sambil mengamati menu makanan di meja makan. Air minum
ia tuangkan dari kendi yang terbuat dari tanah liat ke gelas berbahan
alumunium. Piring platik, bukan berbahan melamin, nasi dua entong, tahu dua
potong, tempe dua potong, dan sambal tiga sendok makan. “Lha, kepuruknya mana
Mak?” teriaknya kepada Emak yang sedang menyapu halaman rumah.
“Di atas lemari bupet!” Sahut Emak.
“Tinggal 3 biji ya Mak? Kira-kira Emak bisa habisin berapa?”
“Satu aja cukup.” Aisyah mengambil 2 biji kerupuk putih berbandrol Rp.
200 per biji tersebut. Hidangan sarapan dilahapnya. Tidak lupa ia cuci dulu
piring dan gelas. Tanpa sabun cuci dan usap-usap, yang penting kelihatan
bersih, masa bodoh dengan higienis, steril, dan kawan-kawan.
“Mak, Ais berangkat cari ilmu lagi! Emak masih kerasan kan dirumah
sendirian?” Aisyah berpamitan. Cium tangan kanan dulu. Aisyah melesat melewati
pagar rumah tetangga. Menyelinap di balik gang kancil. Melewati jembatan yang
melayang diatas sungai berair sampah dan sejenisnya. Atau bukan sungai, comberan.
Lalu menghilang dari pandangan Emak.
Sejak kelas 4 SD, Aisyah hidup dua batang kara bersama Emak. Dunia ditinggal
bapaknya ketika bergejolak peristiwa Reformasi berkecamuk di tahun 1998. Bapaknya
bernama Cok Tjian adalah salah satu korban kerusuhan yang terjadi di Jakarta,
13-14 Mei 1998. Kerusuhan yang dipicu penembakan aparatur pemerintah terhadap
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Aisyah
dan ibunya tidak pernah menyemayamkan bapak satu-satunya itu. Tapi Emak yakin
suami tercintanya itu sudah tiada. Emak beberapa kali ditemui bapak lewat
mimpi. Dan Emak percaya itu benar-benar petunjuk dari yang Maha Kuasa.
Hidup berdua di rumah sederhana dengan bunga-bunga alakadarnya bukan
hal mudah. Setidaknya ketika tahun-tahun pertama dan kedua. Emak harus berjuang
menjadi orangtua single. Sedangkan Aisyah
harus berusaha menjadi single child. Artinya,
pupus sudah keinginannya mempunyai adik. Berbeda dengan sahabatnya, Yona, yang orangtuanya
langsung meberikan dua orang adik sekaligus dalam sekali produksi. Mungkin saja
orangtua Yona gemar Puasa Patigeni dan menguasai aji Semar Mesem. Jalan Tuhan
memang selalu indah untuk hambanya. Hal inilah yang mendasari kekuatan Emak dan
Aisyah bertahan. Bisa saja Aisyah memiliki adik, tapi ia tidak ingin adik
berbeda bapak. Tapi masa iya, Emak bisa punya anak dengan orang yang sudah
mati? Jangan-jangan disangka Bunda Maria second
edition? Tapi itu mungkin bin mustahil. Lho? Jadinya ya tidak mungkin.
Aisyah mengakrabkan diri dengan satpam sekolah. Seperti lagak Ki
Juragan pada awal kisah perang Campuh – Karta Sura dan Sura-Baya – waktu kembali
ke Paronggahan bersama Panji Sugeng Rana. Pak Beno, itulah nama satpam sekolah
yang bagian jaga pintu masuk. Orangnya pendek dan berkumis tebal. Kepalanya sedikit
kotak dengan variasi hidung lebar. “Pak, dulu pernah punya pacar nggak waktu SMA? Berapa pak?” Tanya
Aisyah sok akrab.
“Ya mesti punya.” Jawab pak Beno dengan nada sedikit congkak.
“Mirip siapa pak?” Aisyah memancing pembicaraan.
“Yang pasti jauh beda sama kamu.”
“Ooo..” Aisyah membalikkan badan. Ia mulai memandangi jalanan dan
sekitar. “Cowok pak?”
“Opo? Yo pasti cewek, wadon, harim.” Pak Beno menyambar Aisyah. “Saya
sudah hafal jurus kamu, ndak bakal mempan dan ndak bakal mujarab lagi rayuan
basi-basa kamu.” Pak Bona keluar dari pos jaganya. Memegangi kunci gerbang dan
berjalan sombong ke depan. Putar badan, dan berjalan ke depan lagi.
“Nanti malam jagoin siapa pak?” Aisyah mencoba meleburkan suasana. Ia tahu
ada pertandingan final liga champions eropa nanti malam.
“Ya pasti MU to!” Sahut pak Beno.
“Berani pasang berapa pak?”
“Nantang nih
ceritanya?” Pak Beno semakin menjauh dari pos jaganya.
Bersambung..