Dongeng
Surgaku
pagiku redup
berulang redup
tangisku silau
menggulung ufuk
pagiku
cerah
membara
jingga
tertawa
gembira
menjala
aura
kau, bukan
iya,
aku
aku matikan lampu
aku hirup asap bakau
sandarkan bahuku
aahh..
kini
waktu membantuku
menari
dan menjelajah. tak ada haru
Manja!
kau
pikir tidak jenuh?
aku
melempar malu. tak ada haru
parasmu itu
luapkan titik benalu
tusukku tanpa porsi dulu
manja..!
kenali murkamu
kau..!
Iya, aku
Tuturku menjubal kala fajar
Redupkan harum. Kau tidur
Tidak, bukan!
Bayangmu sesalkan sinar
Matikan tanah yang subur
Emm.. Iya, aku!
Tapi,..
Kau berang dengan mereka
Mencari kambing tak berbulu
Mengadu bak kancil merah
Dan, menangis dipojok pintu
Kau, kau tahu?
Flamboyan mengharu sejuk
Mengusir garis-garis pantai sejuk
Pikirmu aku segan terbujuk?
Tak luput.
Tubuhmu indah, memang indah
Senyummu merekah, mengaliri buih-buih mesra
Kadang berguru pun tak cukup
Gombal
Kucrut
Hey..!
Tanpamu, Aku..
Curut
Merebahlah, tunduk
Kau sudah banyak kuguyur
Tubuhmu itu suci ketika..
Lahir?
Kau mujur dan kau..kau..kau..!
Rumahku bertingkat
Jubahku berhias emas
Lihat..! kini aku waras
Kau.. cobalah lirikkan matamu
Lepas..!!
Merebahlah, tunduk.
Patahkan kakimu
Letakkan keningmu, tunduk!
Seandainya..
Diam..!!
Wajahmu tak berpaling
Biarkan..! Tunjukkan!
Aku… Aku..!
Guraumu bukan untukku
Wajahku tak sadar diduniamu
Suaraku mengringi nadimu
Mataku melebur, terbang, berkejaran di
nafasmu
Kau! Hidup di duniaku
Tak pernah kau hadir!
Candamu itu, sampah!
Hanya senangmu, itu mauku.
Diam..!!
Sepihak kau suruh aku diam
Guratan dahimu saja, huh..
Aku terkesan. Jancuk!
Merebahlah, tunduk
Ceritamu tak lebih busuk dari Fir’aun
Kejimu, huh! Pelajaranku.
Merasa sesal dalam-dalam. Terpikat jarah. Kau
tak jera.
Kau menyamun ruang putih. Aku melamun
dalam sepetak ladang gelap.
Kau berapi-api membawa perisai besi. Menghunus
pedang bertulis “BUI”
Dan, kau menghela nafas. Mengusap dahi
dengan air yang kau sebut “SUCI”
Aku tahu
Tanganku bergetar menapak tanah yang bernisan
Dadaku terkoyak setelah sekilas meratapi
Sifatmu
Iya, aku!
Kau mendosakan kebaikanku
Kau menghitamkan padang yang kuputihkan
Kau turunkan kedinginan yang panas
Kala manusia-manusia itu naza’
Ha ha ha ha ha
Iya, aku
Kau hanya ingin sujud kepada Adam
Adam yang aku bius dengan kelembutan
Kelembutan yang terpisah dari rusuk kirinya
Merebahlah, tunduk!
Surgaku bukan surgamu
Nerakaku itu surgamu
Kilatan cahaya dan harum yang tak kukenal itu.
Disanalah tempatku.
Matamu tak mampu lagi menahan jampiku
Kau hanya menyiksa batinmu di duniamu
Hanya untuk dunia mereka yang tabu
Mengatasnamakan surga ditelapak kaki ibu
Akulah ibumu.
Bukan, dia ibuku.
Ibuku tidak bertaring dan berbulu.
Ibuku membelai indah malam-malamku.
Kenapa kau diam?
Ingat saat kau menjambak rambutnya yang
memutih?
Ingat saat lenganmu menyambar pipinya yang
keriput?
Ingat saat kau terbahak mendengar namanya
terlacur?
Ingatlah itu, kau senang bukan? Siapa ibumu
sekarang?
Akulah ibumu.
Merebahlah, tunduk!
Ibuku itu,
Ketika aku merengek tidak memperoleh permen.
Aku masih menerima kecupan dikening kecilku, tanpa dia lesuh.
Mengelus bekas lukaku. Dan, tak peduli jika terluka karenaku.
Ibuku itu,
Ketika malam bersujud dengan do’a yang berkejaran.
Hanya untuk menghilangkan dosa terkesil disekujur tubuhku.
Sekalipun aku berkeras untuk tetap membela temanku.
Ibuku itu,
Orang yang tidak punya malu.
Hanya untuk menyuapiku sepiring nasi dan seteguk air putih.
Dan, menabur sekeping koin dalam saku celanaku.
Ibuku itu,
Manusia yang menyiangi sekujur tubuhku tanpa letih.
Ketika urat nadinya mengecil dan hampir mati.
Terlebih ketika kening dan kakinya mulai melepuh.
Ibuku itu,
Ketika aku dewasa.
Sedikitpun tidak memanja untuk mengharap budi.
Ia rela melihatku berdiri dari tempat tidurnya. Meneteskan air mata
kasih.
Lalu pergi tidur dengan tiga lembar kain putih yang terikat rapi.
________
Depok, 20 Agustus 2011
Mang Oejank Indro