MENAKAR
AGAMA TUHAN, MENIMBANG FILSAFAT PERENNIAL
Tinjauan
Logis Pluralisme Agama
Oleh, Iswanda Fauzan S, 1006696951
Abstrak
Setiap manusia memiliki
keyakinan dan konsep berbeda terhadap Tuhan. Karenanya manusia memiliki agama
yang beragam. Keberagaman agama tidak sertamerta membawa perdamaian dan
keadilan di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pluralisme agama yang
dikemukakan John Hick memiliki konsekuensi logis terhadap pemahaman akan agama
itu sendiri. Dengan melihat pluralisme agama dari perspektif filsata perennial,
manusia akan terdorong dalam dimensi Transcendent Unity Of Religions (kesamaan
transenden agama-agama) yang akan membawa manusia kedalam sebuah titik penemuan
pergeseran paradigma dari yang dulu terbatas pada “idealitas” ke arah
“historisitas”, dari yang hanya berkisar pada “doktrin” ke arah entitas
“sosiologis”, dari diskursus “essensi” ke arah “eksistensi” yang transendental.
Konsepsi pluiralisme agama (persamaan agama/semua agama sama) seharusnya tidak
persepsikan dengan pluralitas agama (keanekaraman agama). Supaya tujuan
perdamaian dan keadilan dapat tercapai ditengah-tengah kehidupan total seluruh
umat manusia, yang sejatinya hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.
Kata kunci: pluralisme
agama, filsafat perennial, agama.
Pendahuluan
Melihat
kenyataan sejarah, tantangan yang selalu dihadapi agama-agama sejak dahulu
hingga kini dan mendatang antara lain adalah bagaimana merumuskan langkah
konstruktif yang bersifat operasional untuk mendamaikan berbagai eksoterisme
(keagamaan) yang ada dan cenderung mendatangkan pertikaian antar manusia
dengan mengatasnamakan kebenaran Tuhan. ‘Truth claim’ senantiasa
mewarnai perjumpaan dengan keimanan yang “lain” (M. Amin Abdullah, 1999: 50).
Muncul enclave-enclave komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif,
emosional, dan kaku. Sikap eksklusif inilah yang oleh Ian G. Barbour
disebut-sebut sebagai ingridient yang paling dominan dalam pembentukan dogmatism
dan fanaticism (Ian G. Barbour, 1980: 239).
Guna
merumuskan alternatif solusi yang konstruktif dan dialogis-humanis dalam
perjumpaan antar sesama kaum beriman, diperlukan adanya ‘shifting paradigm’
(pergeseran pemikiran) dalam melihat peran dan makna agama serta sikap dewasa
terhadap klaim-klaim kebenaran absolut. Dalam filsafat, pergeseran ini
diarahkan dengan tujuan; pertama, menambah wawasan keluasan dan keluasan
intelektual; kedua, menumbuhkan sikap toleransi terhadap berbagai
pendapat dan keyakinan hidup; dan ketiga, membebaskan sikap eksklusif
dan dogmatis yang menyatu dalam keyakinan hidup. Tawaran akan kehidupan
teosentris, kehidupan yang berpusat pada Tuhan, sejatinya merupakan penolakan terhadap
berbagai egoisme kemanusiaan, termasuk egoisme relegius baik yang bersifat
individual maupun yang bersifat kolektif, seperti dalam bentuk rasisme,
nasionalisme, sektarianisme, atau seksisme (feminisme maupun maskulinisme).
Kenyataan
juga memerlihatkan bahwa agama merupakan suatu sistem yang total. Menurut
Koentjaraningrat dengan mengutip pendapat Emile Durkheim dalam karyanya yang
terkenal Les Formes Elementaires de la vie Religieuse (1912), menyatakan
bahwa ada empat unsur pokok dalam agama, yaitu emosi keagamaan, sistem
kepercayaan, sistem upacara, dan komunitas keagamaan.
Emosi keagamaan menyebabkan manusia menjadi religius. Sistem kepercayaan
mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan
serta tentang wujud dari alam gaib. Sistem upacara religius yang bertujuan
mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang
mendiami alam gaib. Dan, kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan
sosial yang menganut sistem kepercayaan dan melakukan sistem upacara-upacara
religius.
Adanya
pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, nyatanya tidak berhenti begitu saja.
Bagi para pemeluknya, semua jerih payahnya pada akhirnya akan tiba pada satu
tujuan atau titik temu yang sama, yaitu menuju Tuhan Yang Maha Esa. Proses
menuju Yang Maha Esa ini atau perjalanan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa ini
merupakan sebuah upaya pendakian spiritual. Menurut Bhagavan Das (1966), hal
itu disebut sebagai The Road of Life. Pluralitas agama memang suatu
fakta sebagai jalan yang beragama bagi manusia untuk menuju yang Esa (Satu).
Istilah
“pluralisme agama‟ terbilang baru. Seratus tahun yang lalu tidak ada seorang
pun menyebut atau menulis tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah convivencia
(bahasa Spanyol untuk co-existence atau hidup bersama dengan rukun
damai), toleration atau tolerance (dari bahasa Latin tolero,
tolerare yang artinya membawa, memanggul, menanggung, menahan (to carry,
bear, endure, sustain; to support, keep up, maintain).
Meskipun tidak jelas siapakah yang pertama kali menelurkan istilah pluralisme
agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mutakhir, yaitu
Raimundo Panikkar3 (seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya
beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith4 (pengasas dan mantan pengarah
Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon5
(mantan Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan
John Hick6 (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).
Plularitas Agama dan
Pluralisme Beragama
Pertama-tama
mesti kita terangkan lagi perbedaan antara “pluralitas” dan “pluralism” agama.
Pluralitas agama adalah fakta wujudnya kepelbagaian dan perbedaan agama-agama
di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan alias Sunnatullah,
dan karenanya mustahil dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan,
pikiran, sikap dan pendirian yang dipunyai seseorang terhadap realiti
kepelbagaian dan fakta perbedaan tersebut. Ini pengertian umumnya. Secara
khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa
agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari
segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne,
profesor di King‟s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan
tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama,
semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan
suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga,
semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka
untuk dikritik dan ditinjau kembali.
Sebagai
paham baru, pluralisme agama ditawarkan menjadi alternatif kepada exclusivism
dan inclusivism–dua pandangan yang konon tidak sesuai lagi untuk
masyarakat modern sekarang ini. Adalah John Hick yang dengan gamblang
menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan
menyikapi status agama lain.
Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahawa keselamatan akhirat hanya
akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus
Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi
keselamatan, atas dalil Yohanes 14:6: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak
seorang pun dapat sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Paradigma ini
tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan
dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur: extra ecclesiam
nulla salus. Walhasil, Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan
berpandangan negatif terhadap agama-agama lain. Paradigma ini juga terdapat di
kalangan Gereja Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan
bahawa hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Tuhan
menghendakiNya demikian. Penganut agama lain akan binasa di neraka. Sikap
inilah yang dikatakan membentuk mentalitas tentara salib dan golongan
fundamentalis, sehingga umat Islam dilihat sebagai musuh yang perlu ditaklukkan
dengan jalan mengkristenkan mereka.
Paradigma
inklusivisme mengatakan bahawa keselamatan Allah berlaku universal dan
hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui keunikan Jesus Kristus.
Bahawa ampunan dan kasih sayang Tuhan merangkul seluruh umat manusia dengan
berkat kematian Jesus, terlepas apakah yang bersangkutan memeluk agama Kristen
ataupun agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama
lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua
pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah
Allah dalam JesusKristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik
Romase sudah Konsili Vatikan II yang konon menandai perubahan dan keterbukaan
baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar
teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang
mencetuskan istilah “Kristen tanpa nama” (anonymous Christian). Tetapi
menurut Hick, paradigma ini menimbulkan beberapa implikasi pelik. Apakah ianya
berarti doktrin “tiada keselamatan di luar gereja” itu telah dibatalkan? Kalau
jawabannya “tidak”, maka istilah “Kristen tanpa nama” tersebut omong kosong
belaka (empty gesture). Sebaliknya, kalau jawabannya adalah “ya”, maka
program Kristenisasi yang digarap oleh para misionaris itu sia-sia belaka. Ada
pula yang mengkritik konsep anonymous Christian itu sebagai penghalang
terhadap dialog yang jujur dan seimbang, atau malah justru membawa kepada jalan
buntu bagi semua agama. Konsep ini masih terperangkap dalam imperialisme
teologis yang menekankan normativitas Jesus Kristus bagi agama-agama lain dan
tetap memandang agama-agama lain lebih rendah dari agama Kristen, sehingga
kalaupun ada dialog seperti dianjurkan Gereja Katholik pasca Konsili Vatikan
II, maka yang terjadi adalah „dialog antara gajah dan tikus‟ –meminjam istilah
Paul F. Knitter.
Jadi
tidak mengherankan apabila John Hick lantas lebih mengedepankan ‘pluralisme’
sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma
inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu. “Kalau kita berpendapat
bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama
besar –selain Kristen, bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa
ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?”
Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahawa perubahan
hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang
Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai
bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas
dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam
hal ini John Hick tidak sendirian. Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita
sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya,
pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka
sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan
menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu “kesamaan
yang kasar” (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama
selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut
masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Tuhan.
Pluralisme yang tidak dapat hanya
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good,
hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme,
khususnya pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.
Pluralisme
Agama dalam Filsafat Perennial
Filsafat
perennial sangat concern terhadap penunaian tugas-tugas keagamaan di
atas. Perspektif yang dikembangkannya mencitakan kedamaian dan keharmonisan
dalam lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan yang dibangun
di atas kaki keadilan, keterbukaan dan demokrasi. Setiap pemeluk agama bukan
saja dituntut mengakui keberadaan, hak agama dan praktek keagamaan lain, tetapi
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya
kerukunan, kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagment of
diversities within the bonds of civility). Hak azasi manusia sejatinya
menjadi elemen pemersatu (the uniting element) antar sesama (Nurcholish
Madjid, 1998: xxi-iii).
Berdasarkan latar belakang di atas, dan
melihat kenyataan empiris bahwa bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman
(pluralitas) suku, bahasa, budaya, dan agama, sangatlah penting kiranya untuk
menelaah lebih mendalam konsep pluralisme. Elan vital agama yang senantiasa
mengajarkan kebaikan dan keharmonisan antar sesama manusia diharapkan dapat
ditemukan wacana dan solusi konstruktif dalam membangun kerangka teologi
kerukunan hidup antar umat beragama. Kajian perennial yang mengajarkan
kepemilikan “kebenaran bersama” mendukung tercapainya tujuan dimaksud. Melalui
kajian ini diharapkan dapat diformulasikan sebuah perjumpaan antar dan intern
umat beragama yang lebih humanistik-universal, etis-dialogis dan egaliter,
memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan keutuhan dan kehidupan yang
lestari.
Agar
pelaksanaannya mampu membawa implikasi positif diperlukan dua komitmen penting;
pertama, adanya sikap toleransi; suatu sifat atau sikap menenggang
pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya yang berbeda dengan
pendiriannya sendiri, dan kedua pluralisme, yang bisa dilacak dalam
Frithjof Schuon, seorang tokoh filsafat perennial dan genius terbesar
metafisika tradisional. Bagi Schuon, hidup ini ada tingkatannya. Dari segi
metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada pada tingkat tertinggi, terdapat
titik temu berbagai agama, sedang pada tingkat dibawahnya semua agama itu
saling bereda. Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan
mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak boleh
dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya pluralisme
agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Agama dituntut mampu menampilkan
citranya yang inklusif, tidak ekstrem, lapang, tetap mempertimbangkan
nilai-nilai spiritual lokal, dan humanis. Agama haruslah tampil (atau
ditampilkan) dengan “wajah” terbuka terhadap “realitas” yang ada di luar
dirinya. Ia juga dituntut untuk mampu membawa penganutnya bersikap adil
terhadap agamanya sendiri, menghargai dan apresiatif terhadap keimanan orang
lain (Wilfred Cantwell Smith,1981: 71) Dengannya pemenuhan kebutuhan hidup,
kepentingan dan kecenderungan hidup masyarakat harus dibimbing secara dialogis,
humanis dan inklusif dalam nilai-nilai etik-moralitas yang sejatinya merupakan
“milik” setiap agama. Secara kongkret, agama masa depan yang menjadi harapan
adalah (a) agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme.
Suatu kesadaran spiritual yang ditopang oleh ilmu pengetahuan alam agar bisa
memberikan peta kosmologi yang benar sehingga seseorang tahu di mana dan ke
arah mana kereta ruang dan waktu yang sedang ditumpanginya bergerak; (b) agama
masa depan ingin tidak dipisahkan dari agama-agama tradisional; bahwa juga (c)
akan muncul keberagamaan eklektik dan sikap beragama yang lebih
humanistik-universal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995:
116-118).
Filsafat perennial (perennial
philosophy) mengungkapkan bahwa The Road of Life itu membawa
“tradisi” yang biasa dilihat dari dua arah. Yakni, dari sisi ketuhanan adalah
narasi tentang “asal usul”. Dan, dari sudut manusiawi adalah “jalan” kembali
kepada Tuhan, kepada “yang asal”. Jadi, meskipun secara esoterik, agama itu
bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik semuanya akan
bermuara kepada satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa. Upaya menuju ke satu Tuhan
ini, menurut Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, dapat ditempuh lewat
pendekatan filsafat perennial.
Pendekatan
filsafat perennial ini diharapkan tidak hanya berhenti pada ditemukannya yang Edos
(Class J. Bleeker), Sensus Numinous (Rudolf Otto), Transcendental
Focus (Ninian Smart), Essence of Religion (Mircea Eliade), atau Ultimate
Reality (Joachim Wach), melainkan diajak lebih jauh lagi. Yaitu, mengalami
sendiri pengalaman keberagamaan berupaya penyatuan diri dengan Tuhan yang
dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Penggolongan antara
pengetahuan sejati tentang yang Absolut ini bukan saja berhasil menemukan titik
temu (konvergensi) agama-agama, melainkan juga akan membentangkan berbagai
kemungkinan “jalan”, “tangga” “kapal” sebagai jalan untuk mengembalikan manusia
kepada fitrahnya yang kini telah hilang akibat suatu cara dan pandangan hidup
modern yang sekularistik.
Pluralisme
merupakan tantangan bagi agama-agama. Dari sinilah arti penting pencaharian
titik temu (konvergensi) agama-agama. Ada beberapa pertimbangan sebagai
kerangka acuan akan arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Pertama,
secara praktis pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama,
sehingga yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusifisme beragama, yang
merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama-agama
lain dituduh sesat, maka wajib dikikis atau pemeluknya ditobatkan, karena baik
agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Di sinilah akar konflik
dimulai. Pluralimse agama memang belum sepenuhnya menjamin kerukunan hidup
beragama. Kedua, di tengah-tengah pluralisme agama ini, hanyalah pemeluk
agama tertentu (yang bersikap eksklusif) justru masih cenderung memonopoli
kebenaran agama (claim of truth) dan laham keselamatan (claim of
salvation). Pahadal secara sosiologis, claim of truth dan claim
of salvation itu, selain membuat berbagai konflik sosial politik, juga
membawa berbagai macam perang antar agama.
Pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, yang pada akhirnya
mencerminkan beragam jalan menuju yang Satu, merupakan permasalahan tentang
yang relatif dan yang absolut. Pada dasarnya pemahaman manusia terhadap
agamanya adalah realatif, namun semua ini pada hakikatnya demi yang Absolut.
Sedangkan yang Absolut, yang Satu terungkap melalui jalan-jalan yang sifatnya
relatif. Misalnya, fakta adanya pluralitas agama dan diversitas pemahaman
agama. Menurut Paul F. Knitter (1985), pada dasarnya semua agama adalah
relatif. Yang maknanya adalah terbatas, parsial, dan tidak lengkap. Karenanya,
menganggap bahwa semua agama secara instrinsik lebih dari yang lain. Sekarang
menurut para ahli agama, dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah,
ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit. Klaim seperti itu “wajib”
dihindari dan jika perlu dikikis oleh umat beragama dengan diiringi penghargaan
cakrawala yang luas dan paham keagamaan yang inklusif, egaliter, dan
demokratis. Sehingga, semakin disadari bahwa semua agama pada dasarnya Relatively
Absolute (Sayyed Nasser) atau sebaliknya Absolutely absolutive.
Transcendent Unity Of Religions
Pemahaman yang mendalam
mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan merupakan kerangka dasar
menuju dialog. Pengalaman ini penting untuk memperkaya pengalaman antar iman,
sebagai pintu masuk ke dalam kompleksitas dialog teologis sekaligus langkah
awal mengenali agama-agama secara terbuka. Pluralisme sebagai sikap sadar dan
terbuka bagi yang lain menghendaki setiap pemeluk agama bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dan kedamaian. Kebenaran suatu agama
tidak hanya diukur sebatas upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi
melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju kepada yang
transendental. . Berpijak dari alur pikir yang bersifat pluralis dan
keterbukaan antar umat beragama di harapkan dapat meredam potensi-potensi
konflik dan kekerasan yang bisa muncul dari sesama kaum beriman. Dengan sikap
pluralis ini setiap insan digerakkan untuk mengembangkan pemahaman diri
terhadap tradisi (agama), terbuka terhadap beragam konsep kehadiran, makna dan
persepsi terhadap “the real” dalam jiwa manusia (John Hick, 1987: 333).
Melalui term “membuka” bagi yang lain dan prinsip “pertemanan” sejati, segenap
kaum beriman diajak untuk berani berdiri atas sikap “menolak” setiap jenis
kekebalan terhadap argumen, pembenaran sepihak dari dogma tertentu, struktur
ideologi maupun dominasi sosial tertentu. Setiap agama diajak untuk mau
memeriksa kembali pendiriannya masing-masing. Sebuah penekanan tentang
pentingnya pengembangan komitmen kepada budaya baru yang “lebih” manusiawi,
yang menjadi “arah-arah pasti” (irrevocable directives) yang dapat
membimbing umat manusia menuju satu kemanusiaan, satu peradaban dan satu masa
depan.
Melalui diskursus (secara distingsif)
antara esoterisme dan eksoterisme, pembicaraan mengenai pluralisme agama begitu
intens disuarakan oleh kaum perennialis; wacana sikap peduli tanpa label agama,
pemberdayaan nilai-nilai keadilan, kebersamaan, pencapaian keutuhan ciptaan,
hidup yang lestari dan tanggung jawab antar sesama manusia di dalam kereta dan
ruang waktu yang sama. Misi keagamaan haruslah dijalin dalam suasana yang
dialogis, ramah dan inklusif, dapat menyentuh persoalan-persoalan kemanusiaan,
kerohanian dan spiritualitas, bukan mengedepankan simbolisme agama.
Usaha
untuk memberi “titik temu” agama-agama, kiranya perlu dibingkai dalam format
ketuhanan yang Maha Esa. Semua itu berasal dari satu Tuhan, maka pada tingkat
transenden, kata Frithjof Schoun, semua agama akan mencapai titik temu. Atau,
bagi Huston Smith (1973) bahwa landasan esoterik agama-agama itu sama.
Sementara dalam perspektif filsafat perennial, kesamaan itu diistilahkan dengan
transcendent unity of religions (kesamaan transenden agama-agama). Jadi,
pada tingkat the common vision (Huston Smith) atau pada tingkat transcendent
(kaum perennialis) semua agama mempunyai kesatuan. Kalau tidak, malah
kesamaan gagasan dasar.
Dalam
konteks pluralitas agama, penerimaan adanya the common vision ini
berarti menghubungkan kembali the many dalam hal ini realitas eksoteris
agama-agama, kepada asalnya The One, Tuhan, yang diberi berbagai macam
nama oleh para pemeluk berbagai agama sejalan dengan perkembangan kebudayaan
dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga, kesan empiris tentang
adanya agama-agama yang plural itu tidak hanya berhenti sebagai fenomena
faktual saja. Akan tetapi, kemudian dilanjutkan bahwa ada satu Realitas yang
menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam bahasa
simbolis bolehlah kita sebut dengan “agama itu”.
Agama
yang satu berbeda dengan agama yang lain, tetapi kebenaran lain pun tak boleh
disangkal bahwa di antara agama-agama itu terdapat persamaan yang seringkali
menakjubkan. Kita sering begitu tercengkeram dalam bentuk-bentuk lahir keagamaan
yang kita pertahankan mati-matian seolah-olah merupakan benteng terakhir.
Padahal, itu sebenarnya merupakan juga produk salah satu generasi pendahulu
kita. Dengan menyadari bahwa pluralitas agama pada akhirnya akan mengantar
kepada titik temu agama, asal tidak terpaku pada bentuk lahiriah agama yang
eksoteris, namun memandangnya sebagai yang esoteris, sehingga mampu menyadari
tentang segi-segi agama yang sifatnya relatif, namun mengandung yang Absolut.
Maka, si situlah akan terdapat dinamika kehidupan beragama, yang berpuncak
kepada kerukunan hidup beragama.
Kehidupan
beragama yang dinamis merupakan faktor dasar yang bersifat menentukan bagi
terwujudnya stabilitas nasional, persatuan dan kerukunan, perdamaian dan
ketenangan hidup, kehidupan beragama yang dinamis dengan terciptanya kerukunan
umat beragama tentu saja membawa manfaat yang sangat besar. Untuk umat beragama
terwujudnya kerukunan umat beragama mempunyai manfaat, minimal terjaminnya
serta dihormatinya iman dan identitas mereka oleh pihak lain, dan maksimal
adalah terbukanya peluang untuk membuktikan keagungan agama mereka
masing-masing dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Usaha
manusia menemukan agama atau cara memeluk agama dan cara menghayatinya haruslah
tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, namun mengembangkan lebih jauh nilai
kemanusiaannya sendiri, membuat mekar potensi spesifeknya sebagai manusia.
Beragama tidak boleh membelenggu jiwa dan rohani yang bersangkutan, akan tetapi
beragama mesti membebaskannya dari subjektivitas yang mengelilingi hidupnya.
Dalam menapaki jalan menuju Tuhan, diperlukan sikap keterbukaan dengan semangat
mencari kebenaran. Sikap demikian harus dilakukan secara tulus dan murni (hanifiyyah
samhah), dalam istilah Norcholish Madjid, yang menjanjikan kebahagiaan
sejati dan tidak bersifat palliative serta tidak bersikap sektarian.
Melalui
alur pikir pluralisme, filsafat perennial menawarkan sebuah ajakan kepada
agama-agama untuk berpindah “diri” dari “truth-claim” dan “fanaticism”
ke arah pemusatan pada “Yang Suci”. Abul Kalam Azad menyebut “Al Din Wahid
wa Al Syar’at Mukhtalifat; No difference in Din difference only in Sharia;
Agama tetap satu dan Syariah berbeda-beda”. Tuhan tetap sama, dalam keadaan
apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada manusia dengan cara yang sama.
Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita. Inilah yang ditawarkan
agama kepada umat manusia disepanjang zaman dan dalam segala keadaan; inilah
yang dimaksudkan dengan agama.
Simpulan
Tuhan,
dalam keadaan apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan-Nya kepada manusia
dengan cara yang sama. Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita.
Kekuatan agama yang dibangun atas prinsip kasih sayang, kedamaian, kearifan dan
kesalehan akan afflicable dalam mengkomunikasikan ajaran-ajarannya.
Kebenaran yang dikandung agama, bukan lagi atas nama pribadi namun merupakan
hak masyarakat (public religion). Kesadaran ini hendaknya memberikan
perhatian penuh kepada keluhuran misi yang diemban agama mengajak manusia
menapaki jalan kebaikan dan keselamatan, kedamaian dan keharmonisan dalam
lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan; menciptakan rasa
kemanusiaan yang manusiawi dan keadilan yang merata.
Dengan
demikian, pluralisme agama tidak hanya berhegemoni sebagai sebuah ‘dogma’
keaagamaan. Takaran tentang agama Tuhan telah dilalui manusia sejak
keberadaannya di bumi Tuhan. Setiap agama benar menurut masing-masing
pemeluknya. Oleh karena itu, pluralisme agama merupakan alternatif lanjutan
dari sikap inklusif terhadap subyek agama itu sendiri, yakni manusia. Jadi,
setiap agama mengakui adanya Pluralitas
Agama (keberagaman agama), namun setiap agama tidak mungkin mengakui Pluralisme Agama (persamaan agama/semua
agama sama).