Persoalan
profesi pustakwan di Indonesia memang sangat beragam. Keberagaman ini dapat
dikaji dari berbagai sudut pandang. Profesi pustakan sendiri di Indonesia sudah
berumur. Peringatan 60 tahun Departemen Perpustakaan dan Informasi, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada 26 Oktober yang lalu
merupakan eksistensi profesi pustakwan Indonesia. Sayangnya, keberadaan
pustakawan masih memiliki permasalahan klasik seputar ‘identitas’ dan
‘persepsi’ dari kalangan pustakawan sendiri dan masyarakat luas.
Saat
ini, pendidikan pustakawan sudah memperoleh tempat di berbagai perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta. Meskipun demikian, peningkatan kuailitas
pustakwan terus mendapatkan tantangan dari berbagai aspek, diantaranya aspek
keilmuan perpustakaan dan informasi itu sendiri, aspek teknologi yang tidak
pernah berhenti berkembang, dan aspek pengembangan ilmuan di bidang
perpustakaan dan informasi di Indonesia. Sebuah peesan yang dilontarkan Bill Whitson, mantan
Presiden California Academic &
Research Libraries, tentunya masih menjadi ‘hantu’ bagi pustakwan Indonesia
saat ini. Whitson mengatakan dalam pesan tersebut seperti berikut; “Do we have a future? In nutshell “no”. Of
course, it depends on who ‘we’ are, and how fa a head the future is. Pernyataan
tersebut hingga saat ini masih menjadi bahan renungan bagi pustakawan dunia,
terutama di Indonesia.
Mengawali
pembahasan dalam konteks identitas atau ‘jati diri’ pustakwan, Penulis mendapati
sebuah contoh kasus yang terjadi pada sebuah SMA. Kisah ini berawal dari
pengangkatan pustakwan muda yang dahulunya berprofesi sebagai tenaga tata usaha
(TU) pada sekolah tersebut. Dengan gaji Rp. 75.000,- per bulan, ia diangkat
pada Januari 2012. Dewan sekolah kemudian memberikan peningkatan gaji menjadi
Rp. 350.000,- pada tahun ajaran berikutnya. Tidak berselang lama setelah
pustakwan tersebut menjadi pengurus perpustakaan, ia memulai serangkaian
kegiatan dan pembenahan fasilitas perpustakaan. Ia juga berniat mengambil
kuliah eksternal jarak jauh melalui Universitas Terbuka pada bidang
perpustakaan.
Sekitar
enam bulan setelah ia menjabat sebagai pustakawan, wajah perpustakaan tersebut
berubah menjadi perpustakaan sesungguhnya. Data bibliografi, katalog, administrasi
perpustakaan, hingga pendataan anggota perpustakaan sudah baik. Hal baik
tersebut merupakan pencapaian yang baru bagi sekolah tersebut. Namun,
perkembangan tersebut tidak memberikan dorongan dan perhatian yang baik bagi
dewan guru sekolah tersebut. Artinya, perhatian dan dukungan yang diberikan
tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh dewan guru tersebut.
Pada
kasus pustakawan di atas, ditinjau dari sudut pandang psikologi, terdapat
korelasi antara identitas pustakawan
dan persepsi sosial dari kalangan
dewan guru. Secara tidak langsung, identitas yang diberikan dewan guru kepada
pustakwan – yang awalnya TU – bernuanasa sterotip dengan persepsi bahwa
pustakawan ‘hanya pembantu’ dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Persepsi ini juga didukung oleh pengalaman masa lalu, sikap, dan minat dewan
guru terhadap perpustakaan itu sendiri. Sampai disini kita dapat memberikan
garis lurus hubungan antara identitas pustakawan dan persepsi perpustakaan oleh
dewan guru pada sekolah tersebut. Tulisan ini membahas analisa korelatif
terjadinya persepsi dewan guru dan identitas pustakawan yang difahami oleh
dewan guru yang bersangkutan. Studi kecil ini dilakukan menggunakan teori yang
dikembangkan oleh Jannifer Cram.
Seputar Identitas Sosial dan Persepsi
Sosial
Identitas
sosial, menurut Vaugan dan Hoog (2002) , dalam Sarwono (2009), proses seseorang
dalam mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok
sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh kelompok. Representasi seseorang
dalam mendefinisikan dirinya, menurut Brewer dan Gardiner, dalam Sarwono (2009),
terbagi menjadi tiga bentuk dasar, yaitu:
1.
Individual Self, yaitu diri
yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang membedakan dengan orang lain.
Seperti, “Saya adalah mahasiswa yang berideologi santun dan berkarakter
pemimpin”
2.
Relational Self, hubungan diri
dengan orang lain berdasarkan intrapersonalitas.
3.
Collective Self, yaitu pendefinisian
diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial dimana ia menjadi bagian dari
kelompok tersebut.
Lebih
jauh seputar pemahaman tentang identitas sosial, akan lebih mudah jika
mengkaitkan dengan self verification
processes (SVP). Konsep ini dikembangkan oleh Swann (1990), SVP memberikan
dorongan seseorang terhadap orang lain untuk memberikan pengakuan (validate) dan membenarkan konsep dirinya
meskipun hal tersebut bersifat negatif. Contoh dalam kasus ini adalah keinginan
pengakuan profesi pustakawan itu sebagai profesi yang ‘memalukan, tidak
berguna, dan sederhana’.
Studi
yang pernah dilakukan Swann dan Ely
tahun 1984 menunjukkan bahwa kecendrungan perasaan dan bayangan seseorang
(pesepsi) dapat berubah dan diubah. (Shawn and Swann, 1994:1013). Studi ini merupakan bentuk kajian yang sesuai
yang diterapkan untuk mengubah persepsi sosial terhadap sebuah institusi, dalam
hal ini perpustakaan.
Identitas
sosial terbangun dari konsep diri dalam tatanan masyarakat yang lebih luas.
Huitt menyatakan bahwa terdapat dua hal utama yang saling berkaitan terhadap
diri, yaitu konsep diri dan harga diri. Konsep diri mengacu kepada bagaimana
diri kita berpikir tentang diri itu sendiri. Konsep diri biasanya mengacu pada
pendapat umum yang dimiliki. Sedangkan konsep harga diri sebenarnya mengacu
pada ukuran tertentu dari konsep diri kita sendiri. Sehingga tidak bisa
disangkal bahwa umumnya orang akan mengidamkan harga diri yang positif. Hal ini
memnuculkan istilah above average effect,
yaiut kecendrungan orang untuk menilai dirinya di atas rata-rata pada berbagai
aspek diri yang dianggap positif secara sosial (Baron, Bryne, Bransombe 2006,
dalam Sarwono 2009).
Sejalan
dengan identitas sosial, persepsi sosial memiliki bidang kajian yang
berhubungan dengan orang lain. Persepsi sosial sebagai bidang kajian, adalah
studi terhadap bagaiamana orang membentuk kesan dan membuat penyimpulan tentang
orang lain. (Sarwono, 2010: 47). Hal ini selaras dengan komponen konsep diri
yang membangun persepsi kelompok terhadap diri kita, yaitu fisik, akademis,
sosial, dan kerohanian. Komponen fisik dapat dilihat dari kondisi nyata, jenis
kelamin, tinggi badan, sandang, dan sebagainya. Komponen akademis mencerminkan
dua tingkat kepandaian, yaitu kepandaian secara umum, dan tingkat kemampuan
pada disiplin ilmu tertentu. Komponen sosial terlihat dari pola pergaulan dan
bermasyarakat. Komponen kerohanian menyangkut pada kehidupan beragama
(spiritual) dan kerohaniawan individu.
Kembali
pada konsep diri dan harga diri, keduanya ditopang sepenuhnya oleh dua pilar
pokok; pertama, self-efficacy
(keyakinan diri), yaitu keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk berhasil.
Kedua, self-respect (kehormatan
diri), adalah perasaan pantas dan berguna.
Analisa
Sesuai
dengan kasus yang terjadi pada pustakawan di atas. Analisa yang dapat dilakukan
mencakup beberapa aspek seputar konsep diri dan beberapa tentang persepsi
sosial terhadap perpustakaan. Ketika dihadapkan pada sebuah pekerjaan/profesi,
maka pustakwan tersebut menerima meskipun belum memiliki pengetahuan yang cukup
seputar perpustakaan. Secara sadar, ia merasa dirinya memiliki masalah terhadap
‘identitas sosial baru’ yang ia terima, yaitu ‘pustakwan’. Permasalahan yang
dihadapi ketika ia beralih profesi adalah mencari identitas sosial melalui
opini/pendapat umum melalui self
verification processes. Setelah merasa dirinya sebagai ‘pustakawan’, maka
dengan sendirinya ia melalui Collective
Self, yaitu pendefinisian diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial
dimana ia menjadi bagian dari kelompok tersebut. Sejak awal, pustakwan memiliki
konsep diri yang ‘bergelora’, baik self-efficacy
(keyakinan diri) maupun self-respect
(kehormatan diri). Hal ini ia buktikan dengan kecermelangan kinerja terhadap
perpustakaan, meskipun belum memiliki modal pengetahuan yang cukup sebagai
seorang pustakawan.
Apa
yang dirasakan oleh pustakawan tersebut dengan pencapaian yang ia laukakan
merupakan hal yang patut mendapatkan penghargaan. Namun, paradigma yang
berkembang sejak dahulu tentang perpustakaan dan pustakawan menjadi ‘tembok’
bagi orang lain untuk mengapresiasi hasil kerja pustakawan tersebut. Hal ini
juga berlaku ketika si pustakwan
memberikan laporan dan membenahi perpustakaan. Pada tahapan ini, terjadi
konflik antara persepsi pustakawan dan persepsi dewan guru tentang
perpustakaan. Namun tidak menutup kemungkinan, persepsi tersebut akan merembet
pada pustakawan. Dalam kasus ini, setidaknya terdapat tiga bahasan yang menjadi
fokus analisa, yaitu steriotip, permasalahan citra, dan keterbatasan diri.
(Cram, 1997)
a.
Stereotip
Pustakawan
Pada
kasus ini pustakawan menerima konsekuensi atas steriotip terhadap pustakwan
sebelumnya, dan dengan sadar, dewan guru mempertahankan steriotip tersebut,
padahal jelas-jelas individu tersebut tidak sama. Salah satu hal yang menjadi
nilai positif pustawakan pada kasus ini adalah, ia menganggap semua steriotip
sebagai gurauan dan ‘itu bukan saya’. Namun, ia juga merasa terganggu dengan
generalisasi atas steriotip tersebut.
b.
Permasalahan
Citra (harga diri)
Citra
di sini lebih terhadap harga diri, kasus tersebut mengkiaskan bagaimana
pustakawan baru tersebut kuekuh mempertahankan harga diri sebagai pustakawan.
Namun, ia sendiri sebenarnya tidak begitu dihargai oleh dewan guru.
c.
Keterbatasan
Diri
Jelas
bahwa pustakwan tersebut belum memiliki kompetensi sebagai seorang pustakawan
yang profesional. Hal ini menyebabkan ia sulit untuk mengubah persepsi sosial
terhadap perpustakaan, dan juga terhadap dirinya sebagai pustakawan.
Kesimpulan
Berdasarkan
contoh kasus tersebut. Memang terdapat kaitan erat antara identitas pustakwan
dan persepsi sosial terhadap perpustakaan. Persepsi yang berkembang sejak lama
tentunya membuat pustakawan dan perpustakaan memiliki ‘steriotip’ tersendiri. Namun,
pada kasus tersebut, pustakwan memiliki self-efficacy
(keyakinan diri) maupun self-respect
(kehormatan diri). Hal ini menyebabkan ia sedikit ‘terbebas’ dari steriotip
negatif tentang perpustakaan dan pustakawan. Namun, hanya menunggu waktu bagi
pustakawan untuk mampu bertahan dengan self-efficacy
(keyakinan diri) maupun self-respect
(kehormatan diri). Apakah ia akan menerima dan membiarkan persepsi tersebut
berkembang, atau ia mengalah dan keluar dari status ‘pustakawan’.
-- 0 --
Daftar Pustaka
Cram,
Jannifer. 1997. Self love and joy and
satisfaction ini librarianship. Australian Public Libraries and Information
Services. http://www.alia.org.au/jcram/self_love.html
Hogg,
M. A., & Williams, K. D. (2000). From I to we: Social identity and the
collective self. Group Dynamics:
Theory, Research, and Practice, 4(1),
81-97. doi: http://dx.doi.org/10.1037/1089-2699.4.1.81
Jan,
E. S., & Peter, J. B. (2000). Identity theory and social identity theory. Social Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/212780126?accountid=17242
McNulty,
S. E., & Swann, W. B. (1994). Identity negotiation in roommate
relationships: The self as architect and consequence of social reality. Journal of Personality and
Social Psychology, 67(6),
1012-1023. doi: http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.67.6.1012
Sarwono, W.
Sarlito, Meinarno, Eko, A. 2009. Psikologi
Sosial. Jakarta: Salemba Humaniora.