Wednesday, February 22, 2012

MENDADAK JURNAL


Oleh, Oejank Indro

Pada suatu pagi yang kelam, mendung tak berhujan dan angin tak berhembus kencang. Bersandar di sofa bercorak mawar ditemani lembaran berita koran mingguan, Karin mengutak-atik editorial yang bertuliskan “Jurnal Ilmiah Syarat Wajib Kelulusan.” Sesekali ia melihat siaran berita televisi yang dihiasi korupsi, gengsi, dan cinta-cintaan. “Apa tidak bosan rakyat Indonesia disuguhi informasi abal-abal seperti ini?” Gumam Karin.
“Nyata-nyata rakyat Indonesia dibutakan demokrasi. Ingat waktu pecah peristiwa Reformasi. Semua mendewakan demokrasi, seolah-olah menegakkan demokrasi itu mudah. Jika mereka masih ingat pelajaran sejarah kelas XI SMA, Pois Athena yang mengagungkan demokrasi ternyata lebih mudah dihancurkan. Lalu, apa yang kita harapkan dari demokrasi? Kebebasan? Orang nyata-nyata makin banyak orang bablas. Bablas miskin, bablas bodoh, bablas punya anak padahal belom nikah.”
Diambilnya remote televisi di atas meja, dengan kesal Karin mematikan televisi, melipat koran, dan melenggang ke halaman belakang rumah. Disana ia bertemu bapaknya, Karso,  yang sedang kegirangan memberi makan ikan. Karin dengan muka kesal segera menghampiri Karso. “Kenapa sih pak, pemerintah itu nggak bisa mengerti. Bisanya cuma pura-pura ngerti aja.” Tanya Karin.
Karso tersenyum, “Maksud kamu apa? Sudah syukur kamu bisa hidup cukup, kuliah, dan kebutuhan sehari-harimu terpenuhi.”
Karin semakin kesal.
“Kenapa selalu itu jawaban setiap orang tua kepada seorang anak yang beranjak dewasa? Apa mereka pikir anak-anak sekarang sama dengan masa kanak-kanak mereka?” Gerutu Karin. Karso menghentikan taburan makanan ikan ke kolam. “Lalu mau kamu, jawaban seperti apa?” Karso balik bertanya. Karin akhirnya mendapat kesempatan mengeluarkan uneg-unegnya.
“Bapak pasti tahu jurnal ilmiah yang sekarang jadi topik pendidikan.” Ujar Karin. Karso masih memandang ke kolam ikan piaraannya. “Lalu kenapa? Kamu keberatan?” Kata Karso.
“Siapa bilang Karin keberatan.”
“Lantas? Mau kamu apa?”
Karin semakin kesal. Sepertinya ia akan benar-benar meletupkan segala apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya. Bak letusan gunung Merapi. “Karin kasihan pak.” Kata Karin. Karso berbalik menatap anak satu-satunya itu. “Kenapa kasihan? Kan bagus program dari Dikti itu? Jadi mahasiswa Indonesia lebih berkualitas.” Karso menanggapi. Mereka berjalan ke teras belakang rumah.
Belum sampai di teras belakang untuk duduk. Bu Karso memanggil pak Karso, ia mengabarkan bahwa pak Burhan sudah datang. “Suruh dia masuk. Ketemu disini saja bu.” Kata Karso singkat. “Jadi bagaimana pak?” Karin masih saja bertanya.
“Kamu disini saja. Pak Burhan ini orang Dikti. Nanti kamu simak pembicaraan bapak sama dia.” Jelas Karso kepada Karin. Namun Karin seolah memiliki peluang emas untuk mengeluarkan isi pikirannya tadi langsung kepada pak Burhan. Meskipun ia juga menyadari aspirasinya belum tentu sampai ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. “Ingat! Kamu cukup menengerkan pembicaraan. Jangan ikut campur. Mengerti?” Tegas Karso.
Karin tidak bergumam sedikitpun, ia malah menampakkan wajah kesal.
“Selamat pagi pak Karso. Apa kabar?” Sapa pak Burhan ramah. Ia mengambil tempat duduk disebelah pak Karso, menaruh tas ransel tebal di kaki kursi kayu sederhana. “Selamat pagi juga pak Burhan. Ada keperluan apa nih? Tumben-tumbenan main ke gubuk saya.” Jawab Karso merendah.
“Begini lho pak Karso, saya semakin bingung dengan pelajar kita, anak-anak muda kita, generasi penerus kita.” Pak Burhan mengeluh.
“Lho kenapa? Menurut saya pemuda kita semakin lama semakin pro-aktif, dan mereka semakin sensitif dengan masalah tanah air.” Karso menimpali. Pak Burhan semakin menampakkan wajah yang muram. “Iya, bapak betul. Mereka semakin pintar dan cerdas. Tapi, semakin susah mengendalikan kepintarannya. Coba bapak lihat di kolom media pelajar. Berapa banyak pelajar kita yang mendukung percepatan pembangunan nasional? Tidak banyak pak! Sekarang itu semakin banyak pemuda kita berilmu tinggi, tapi ilmu mereka digunakan untuk merendahkan sesamanya. Merasa hebat belajar di perguruan tinggi favorit, merasa mereka paling tahu anu, paling tahu ini, itu. Dan hal yang paling membuat saya gelisah pak Karso.” Pak Burhan mencondongkan badan ke arah Karso. Karso pasang badan.
“Pelajar kita itu mulai tidak percaya pada guru, dosen, bahkan professor dan pakar pendidikan tanah air. Bapak sudah lama menjadi guru bukan? Apa bapak tidak merasakan gejala itu.” Tegas pak Burhan. Karso melirik Karin. Ia memikirkan anak satu-satunya itu. Dalam hatinya Karso merenungkan tingkah laku anaknya sendiri. Benar juga perkataan pak Burhan. Jangankan siswanya di sekolah, anaknya sendiri memiliki gejala yang sama. Tapi pak Karso tidak semudah itu meng-iya-kan perkataan pak Burhan.
“Tidak semua pelajar kita seperti itu.” Kata Karso. “Masih banyak pemuda yang baik di negeri ini.”
Pak Burhan dengan cepat menanggapi. “Tidak banyak pak! Buktinya, surat edaran Dikti No. 152/E/T/2012 tentang jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa dari S-1, S-2, dan S-3, sudah diprotes banyak kalangan. Padahal, asal bapak tahu, itu adalah cara yang mujarab untuk memajukan pendidikan kita. Kita itu masih tertinggal jauh lho pak dengan Malaysia. Maka dari itu, Dikti mewajibkan seluruh mahasiswa untuk menulis jurnal. Kata atasan saya, bapak Menteri Pendidikan & Kebudayaan, mahasiswa itu harus dipaksa menulis. Urusan kualitas, itu nanti, yang penting ada dulu.”
Karso mencermati. Merenungkan kembali perkataan pak Burhan dalam-dalam. “Memang harus ada perubahan. Tapi, apa tidak sulit pak implementasinya? Ada ratusan ribu perguruan tinggi di Indonesia lho pak!” Tanya Karso.
“Bagaimana mau tambah berkualitas kalau dadakan. Tidak matang. Tidak profesional. Tidak terukur dan asal-asalan.” Cetus Karin. Ia seolah tidak tahan lagi dengan ocehan pak Burhan. Karso dengan sigap mengingatkan Karin, “Karin, tolong sopan sedikit.”
“Tidak apa-apa pak Karso, anak-anak memang kadang tidak sengaja berbicara seperti itu.” Pak Burhan merendah. Tapi dalam benak Karin, itu sama saja dengan pelecehan.
“Siapa bilang Karin anak-anak? Karin sudah besar. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Termasuk kebijakan wajib menulis jurnal ilmiah tadi. Itu hal buruk yang akan mencemari pendidikan kita. Apa tidak ada cara lain untuk menyaingi negara tetangga dalam hal jurnal ilmiah? Kenapa harus mendadak jurnal ilmiah? Bukan perbaikan kualitas pendidikan dulu?” Karin semakin membara. Karso kuwalahan.
“Karin! Hati-hati kalau bicara. Apa kamu diajari berkelakuan seperti itu di kampus? Mengkritik kebijakan pemertintah seolah kamu lebih mengerti masalah negeri ini.” Tegas Karso.
“Bapak juga. Bapak sudah puluhan tahun menjadi guru, tapi tidak peka terhadap kebjikan instan ini.” Karin terus melanjutkan ocehannya.
“Karin! Sudah.”
“Apanya yang sudah. Apa pernah Dikti berdialog dengan mahasiswa seperti Karin untuk kebijakan ini?”
“Karin! Kamu..”
“Apa?? Memangnya kalau mahasiswa tidak boleh bersuara? Kan yang melaksanakan kita pak! Yang pusing itu kita, mahasiswa. Om Franz sudah melancarkan protes di koran Kompas, Perguruan Tinggi Negeri saja masih banyak yang kuwalahan. Apalagi perguruan swasta tingkat kota madya?”
Pak Burhan berkeringat dingin. Tapi ia sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan itu. “Kami sudah menyiapkan berberapa insrtrumen untuk itu, Karin. Jurnal ilmiah itu baik. Ditjen Dikti sudah melakukan kajian sebelum diluncurkannya kebijakan itu. Ini tantangan buat kamu dan teman-teman kamu. Apa susahnya sih  membuat jurnal ilmiah?”
Karin balik bertanya. “Memangnya bapak sudah pernah menulis di jurnal internasional? Berapa banyak? Apa bapak setiap hari membaca jurnal ilmiah? Jangan hanya tahu tetek-bengek proses pembuatan jurnal ilmiah saja pak! Karin sudah sering menulis jurnal ilmiah, karena Karin suka menulis. Sudah 3 kali tulisan ilmiah Karin di muat di jurnal nasional, dan 1 kali di jurnal internasional. Bapak tahu?”
Pak Burhan menggelengkan kepala. “Bagaimana mungkin bisa menyaingi negara tetangga jika pemerintah yang mengurusi pendidikan saja tidak peduli pada peserta didiknya? Pemerintah Jepang saja rela mengeluarkan biaya 12 triliun dan 1 triliun per tahun untuk biaya operasional, guna membangun fasilitas sinkrotron yang dibangun berasama SPRING8.”
Sekarang Karin berada di atas angin. Karso dan pak Burhan semakin tersudut. Bahkan untuk berubah posisi duduk mereka pun tak segan. Karin melanjutkan ‘ceramah’ nya.
“Indonesia meluluskan ratusan ribu mahasiswa S-1 setiap tahunnya, ada sekitar 16.000 program studi. Jika setiap program studi meluluskan 50 orang/tahun, aka nada 800.000 mahasiswa. Artinya, akan ada 6,4 juta lembar jurnal ilmiah/tahun, dengan rata-rata 8 lembar per jurnal. Belum lagi urusan penerbitan, reviewer sebuah jurnal ilmiah juga bukan sembarang orang, dan tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Pak Burhan tentu lebih tahu tentang itu.”
“Tapi kita punya jurnal online. Dan itu lebih efektif.” Kata pak Burhan mencoba mengimbangi. Tapi Karin tentu juga menyiapkan jawaban pertanyaan tolol itu dengan matang.
“Jurnal online? Universitas Indonesia yang memiliki kredibitas penulisan jurnal imiah terbaik di negeri ini saja tidak mampu memanfaatkan secara maksimal jurnal online internasional sekelas Proquest, J-Stror, dan jurnal terakreditasi A lainnya. Lalu siapa yang akan membaca jurnal ilmiah itu nantinya? Apa tukang becak? Berapa jumlah akademisi yang ada di Indonesia? Berapa banyak mahasiswa Indonesia?”
Karso mulai gusar dengan ocehan anaknya. Ia bertukar pandang dengan pak Burhan sesekali. “Karin sudah. Dikti itu berusaha memperbaiki pendidikan kita, segala upayah sudah dilakukan, dan ini merupakan upayah yang bagus. Semakin banyak tulisan ilmiah, akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita.” Pak Karso mencoba mendinginkan Karin yang sudah membara.
“Karin tidak membantah Dikti sedang berusaha memperbaiki pendidikan kita, pak! Hanya jalan yang ditempuh itu kurang baik. Banyak bukan berati berkualitas, ujung-ujungnya akan banyak ‘sampah’ yang malah memperkeruh khasanah ilmu pengetahuan kita.” Jawab Karin lantang.
Pak Burhan sudah tidak betah lagi. Keberadaannya sudah mulai tidak nyaman bersama Karin. Entah bingung atau malu.
“Memangnya kamu tahu? Bisa memberi contoh kongkrit?” Tanya pak Burhan dengan nada sedikit sinis. “Banyak!” Ujar Karin. Pak Burhan kembali serius.
“Bapak lihat saja selera musik pemuda kita. Semakin banyak musisi ecek-ecek, semakin banyak tiru-meniru, semakin banyak program acara musik di televisi-televisi, apa semakin baik perkembangan musik tanah air? Apa semakin berkualitas?” Pak Burhan tertunduk. Ia semakin tersudut.
“Pertanyaan saya yang terakhir pak Burhan. Apakah 4 tahun seorang mahasiswa belajar dari awal hingga tahun terakhirnya dengan sekuat tenaga, pikiran, dan biaya yang semakin melambung, harus tertunda kelulusannya karena menunggu giliran karya tulis ilmiahnya dipublikasikan? Apa sebanding dengan ratusan SKS yang sudah ia selesaikan, bahkan dengan predikat kumalaude?”
Untuk pertanyaan ini, pak Burhan yakin akan mampu menjawab dan membalik keaadaan. “Mahasiswa kan sudah menulis skripsi, tinggal menulis ringkasan dari skripsi itu untuk jurnal ilmiah. Tidak sulit kan? Lagipula tidak butuh tebal-tebal, cukup 8 halaman, seperti yang kamu sampaikan tadi, Karin.” Jawab pak Burhan mantap. Karin terdiam sejenak. Pak Burhan mulai bisa tersenyum.
“Benar itu Karin, sudah saatnya pendidikan kita bergerak maju.” Tambah Karso. Karin meneteskan air mata, ia tidak bisa menahan lagi air matanya. “Kenapa kamu menangis?” Tanya Karso. Pak Burhan dengan santai berucap, “Mungkin dia butuh waktu untuk merenungkan semua ucapannya tadi.” Kata pak Burhan seraya melempar senyum kemenangan kepada Karso.
“Karin, kamu tidak apa-apa nak?” Tanya Karso lagi. Karin mengusap air matanya perlahan. Ia tertunduk.
“Karin membayangkan teman-teman Karin yang di Papua, mahasiswa di perguruan tinggi swasta, mahasiswa di perguruan tinggi sederhana di pinggiran kota, mahasiswa perguruan tinggi yang masih harus bertukar gedung dengan sekolah-sekolah SMA? Apa mereka harus dipaksa menulis jurnal ilmiah? Apa mereka harus rela menunda lulus kuliah karena jurnal ilmiah? Dan harus membanting tulang lagi untuk membayar biaya kuliah? Menunggu berbulan-bulan untuk sekedar di wisuda?”
Pak Burhan dan Karso bertukar pandangan. Ia tidak sedikitpun berani berakta-kata.
“Pak, apa tidak ada cara lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas jurnal ilmiah kita? Selain memaksakan pelajar untuk menulis jurnal ilmiah? Dan, apa setelah mereka lulus dan menulis jurnal imiah, mereka akan mudah diterima kerja? Apa mereka juga akan menulis lebih banyak jurnal ilmiah nantinya?”
Pak Karso melempar senyum pada Karin, ia menepuk pundak Karin, mencoba menenangkannya. Pak Burhan semakin bingung, ia berusaha menutupi ketidaktahuannya, mencoba ngeles dari ‘hujatan’ Karin.
“Betul kan pak apa yang saya bilang.” Kata Karso, “Tidak semua generasi muda kita itu tidak peduli terhadap pendidikan kita. Masih ada generasi muda yang berfikir jauh daripada apa yang menurut kita merupakan ‘pemikiran kedepan’ atau progresif. Kadang kita, orang tua, harus juga mendengarkan generasi muda. Toh mereka nanti yang akan menggantikan kita merawat negeri kita ini.” Ujar Karso.

Depok, 18 Februari 2012




No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...