Wednesday, February 22, 2012

SARAPAN


Oleh, Oejank Indro

Sejak pagi buta bu Karso sudah sibuk dengan berbagai aktvitas memasak. Kali ini berbeda. Benar-benar berbeda. “Segala sesuatunya harus pas!” Katanya dalam hati. Ditemani kucing keluarga. Ia mondar-mandir, meracik bumbu, menuangkan air, mencuci piring, dan menyajikannya di meja makan. Sesekali ia melihat jam di dinding, diatas pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur.
Hei kucing, kenapa kau melihatku seperti itu? Belum pernah kan kau lihat aku sesibuk ini kala pagi? Asal kau tahu, kucing, ini hari spesial.
Dengan mata yang tajam, bu Karso memindai satu per satu bahan makanan yang mulai terlihat seperti makanan, dan siap dimakan. “Sebentar! Bumbu soto? Siap! Lodeh? Oke! Nasi? Sebentar lagi! Kopi? Tinggal seduh.” Dilihatnya kucing tadi masih memperhatikan gerak-gerik bu Karso yang sedang mondar-mandir. “Hei puss, bagaimana menurutmu? Apakah suamiku akan terkesan dengan hidangan ini?” … “Tidak? Kenapa tidak?” … “Oh, iya.. aku tahu apa yang kurang. Sambal? Emm.. kerupuk?”
Nah, ini baru pas! Bagaimana menurutmu, kucing?
Hidangan sudah tertata rapi di meja makan. Bu Karso bersiap untuk mandi, beribadah, dan kembali memberikan sentuhan akhir pada masakannya.
Sudah pukul setengah 7 pagi. Bu Karso meletakkan sendok-garpu di meja makan. “Sudah siap!” Katanya puas.   “Semoga suami dan anakku tidak kecewa.”
“Cuma itu yang kau harapkan? Sedangkal itukah pikiranmu?” Tiba-tiba si kucing tadi bicara. Bu Karso clingak-clinguk. Dalam hatinya ia bergumam, siapa yang berbicara? Tidak ada orang lain di dapur? Ia mengintip ke ruang tamu melalui jendela dapur. Menyapu pandangan melewati sela-sela pintu belakang rumah. Mengendap-endap dan melongok ke dalam kamar mandi.
“Ini aku, kucingmu.” Bu Karso tersentak, bulu kudunya mulai tegak berdiri. Benar itu kau? Kucing? Kau.. kata bu Karso terbata.
“Jangan kaget bu Karso. Semua mahkluk Tuhan itu bisa bicara, pohon, hewan, air, gunung, udara, semuanya bicara. Bukan hanya manusia saja yang bisa bicara!” Bu karso tertegun. Ia kembali duduk di kursi dekat meja makan. Matanya memperhatikan si kucing. “Kenapa tidak dari dulu kau bicara, cing?” Tanya bu Karso. “Maksudku, bicara kepadaku.”
Si kucing meubah posisi duduknya. Ia berjalan mendekati bu Karso. Sontak bu Karso terlihat kagok. Tapi sudah tidak takut lagi.
“Aku menjadi kucing, karena aku anak dari bapak kucing. Kau menjadi manusia, karena kau anak manusia. Sudah lama aku bersahabat dengan manusia.” Bu Karso dengan antusias mendengarkan omongan si kucing. Ia mengambil posisi layaknya soerang siswa di dalam kelas. Si kucing melompat ke meja makan. Spontan bu Karso mengusirnya. Namun si kucing hanya diam dan duduk manis sambari melempar senyum. Kontan bu Karso melongo.
“Kau kucing ajaib?” Tanya bu Karso polos. Si kucing menggaruk-garuk punggung dan lehernya. “Aku kucing biasa. Sama dengan kucing tetanggamu.” Jawab si kucing. Bu Karso semakin bingung. Ia mengamati lagi si kucing. “Apa yang hendak kau bicarakan, kucing?” tanya bu Karso lagi.
Makanan!
Si kucing dengan semangat menjawab. “Tahu apa kau soal makanan? Dari dulu makananmu itu itu aja, ikan. Kau mau sate?” Bu Karso menimpali lantas tertawa lebar.
Si kucing tersenyum kecut.
Manusia memang semakin lama semakin tidak bisa menghargai sesama. Tidak heran jika binatang sepertiku juga dihinanya. Seolah manusia dimuka bumi sudah tidak ada yang bisa dihina lagi.
Bu Karso terdiam. Ia memandangi si kucing yang seolah menjelma seperti kiyai. Nuraninya terenyuh.  Lidahnya kaku dan diam. Si kucing melanjutkan. “Beruntung kau diciptakan Tuhan sebagai manusia. Tapi tidak seberuntung aku, kucing, dan juga anjing, cicak, ular, kupu-kupu, dan lain-lain.”
Dalam hati bu Karso bertanya-tanya. Bukankah manusia itu mahkluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan? Paling pintar? Paling hebat dan tinggi derajatnya diantara makhluk Tuhan lainnya? Kok bisa si kucing lebih beruntung?
“Karena kau hidup di jaman akhir.” Si kucing tiba-tiba menjawab. Bu Karso makin bingung. Ternyata si kucing juga mampu membaca kata hati manusia. “Aku beruntung menjadi kucing, karena aku tidak makan makanan saudara se-binatang. Kambing cukup makan rumput. Ayam cukup cacing, padi, dan jagung. Cicak sudah bersyukur memakan nyamuk, serangga, dan kecoa. Padahal cicak tidak punya sayap, benar?”
Bu Karso mengangguk. Menelan ludah dan mengambil nafas dalam-dalam. Si kucing melanjutkan permbicaraannya. “Kau tentu tidak pernah mendengar krisis pangan di dunia kami. Kau tahu alasannya?” Tanya si kucing. Bu Karso hanya menggelengkan kepalanya.”
“Karena kami tidak rakus sepertimu. Kami cukup dengan apa yang diberikanNya. Karena kami percaya Tuhan itu maha adil. Semua ada tempatnya. Segalanya sudah ada bagiannya.” Si kucing mendekati bu Karso. Bersipu di sebelahnya. Di atas meja makan sebelah kanan.
“Tidak sepertimu, apa-apa mau, segala-galanya kurang. Aku tidak perlu berpikir makanan apa yang aku makan untuk besok. Karena Tuhan sudah menyiapkannya.”
Tentunya kau tidak pernah memikirkan perasaan tumbuhan dan hewan yang sudah kalian makan. Asal kau tahu, mereka yang bakal kau santap, sudah mengiklhaskan diri mereka untuk kau makan. Kau ingin tahu apa yang mereka katakana sebelum kau memakannya? Memasaknya?
Bu Karso kembali mengangguk. Ia pasang telinga baik-baik.
“Tuhan, aku rela menjadi makanan bagi mahklukmu yang lain supaya mereka mampu merasakan nikmatMu, bertahan hidup untuk mendekati jalanMu, menjalankan perintahMu, menjauhi laranganMu, dan menghargai ciptaanMu selain aku.” Kata si kucing.
Matahari mulai meninggi. Bu Karso melihar ke arah jendela, langit yang gelap perlahan memerah dan cerah. “Semakin banyak manusia yang tidak peduli lagi pada sesama mahkluk Tuhan. Aku menyadari itu, tapi kalian tidak kunjung sadar, hanya sedikit orang saja yang sadar.” Ujar si kucing seraya melompat ke lantai. Ia kembali merebah seperti sedia kala. Bu Karso merenungkan perkataan-perkataan si kucing hingga terdengar suara piring beradu dengan sendok-garpu.
Karin melenggang turun dari kamarnya di lantai dua. Sudah berpakaian lengkap untuk ke kampus. “Karin! Ayo makan dulu. Ibumu sudah masak makanan spesial.” Teriak Karso yang sudah duduk manis menghadapi hidangan di meja makan.
“Iya pak!” Jawab Karin singkat. Ia segera mengambil piring, makanan, dan menyantap hidangan dengan lahap bersama Karso.
“Lho, ibu nggak makan? Kok malah bengong?” Tanya Karin. Bu Karso semakin bingung. Ia melihat si kucing tadi. Tapi si kucing sudah tidak di tempat. Matanya menguasai sekitar. Melihar Karin dan Karso yang lahap makan.
“Karin, bapak, maafkan ibu, ibu selama ini hanya memikirkan bagaimana menyajikan makanan yang enak.” Karin dan Karso clingak-clinguk bingung. Apa yang sedang dibicarakan bu Karso?
“Seharusnya ibu memiliki niatan menyediakan sarapan untuk kalian, supaya…” Belum selesai bu Karso berbicara, Karin memotong, “Supaya kami bisa lebih mensyukuri hidup yang diberikan Tuhan, melaksanakan perintah Tuhan, menghargai makhluk Tuhan yang sudah kami makan?”
Bu Karso tercengang. Ia masih ling-lung. Seolah ia baru bangun dari mimpi singkatnya. Tapi hidangan sarapan yang ia sajikan nyata-nyata sedang dinikmati anak dan suaminya. Dalam hati bu Karso berkata, “Alhamdulillah, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan ramhat untuk keluargaku.” Sambil menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Ketika membuka mata, bu karso melihat si Kucing muncul dari pintu belakang rumah. Si kucing melihat ke arah bu karso seraya melempar senyum kecil, lalu melenggang pergi ke luar rumah.

Depok, 20 Februari 2012

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...