Thursday, July 7, 2011

Aisyah Namaku (Chapter II)



Setelah kembali ke dunia nyata, Aisyah tidak banyak berubah. Mimpi yang cukup buruk dan menyesakkan tidur malamnya. Rahmat, Inah, dan Rasmi semua hanya mimpi. Mereka benar-benar tidak ada dalam perjalanan hidupnya. Juga pondok pesantren Al-Harun, santri-santri dan Kiyai Soleh dan isterinya. Hanya bunga tidur. “Masa bodoh, semua itu sekedar mimpi.”
Setelah basah kuyup karena guyuran ‘hujan’ air sisa cucian, ia mandi lebih keras. Sabun colek yang tergantung pada pintu dapur ia sabet. Handuk bergambar tokoh kartun Walt Disney, Donal Duck, ia selimutkan diatas kepalanya – meskipun gambar tokoh kartun tersebut sudah sulit dikenali. Kamar mandi tidak jauh dari dapur, hanya dipisahkan oleh sumur berdiameter 120 cm, yang digali sendiri oleh mendiang bapaknya. Jalan ke kamar mandi dihiasi oleh batuan kali. Batuan itu tertempel pada tanah. Hanya menempel. Sekelilingnya penuh dengan tanaman hias yang terlihat buas. Anyelir, Adenium, Mawar hingga pohon pisang hidup dengan damai disana. “Mak, airnya dihabisin siapa? Masak harus nimba lagi. Bisa-bisa Michele Leigh McCool nyembah-nyembah sama aku.” Teriaknya dari dalam kamar mandi. Handuk yang menempel di bahu kanannya ia gantungkan di sebuah paku yang menancap di dinding kamar mandi. Disisingkan lengan kaos birunya. Sebelah kanan dulu. Yang kiri mengikuti. Ia beranjak ke sumur. Meraih tali katrol sederhana dari tambang bekas tali kambing. “Srutt..Kriek..Sruutt..Kriek” kira-kira seperti itu bunyinya ketika Aisyah mulai mengerek tali. Pelan tapi pasti. Sebuah timba bergantian keluar masuk. Pas masuk kedalam sumur timba itu kosong. Sebaliknya, ketika keluar, timba sudah berisi air dari sumur. Mulailah gentong dalam kamar mandi terisi air. Air yang mengalir dari sebuah saluran air dari bambu yang dibelah dua dan dibersihkan buku-buku bambunya. “Ini tidak kalah sama fitness pakai single station 15” Gumamnya.
Gentong terisi penuh. Aisyah terduduk di bangku dekat pintu dapur. Matanya tertuju pada gedung apartemen Julang Mas yang baru diresmikan kemarin malam. Tidak lama ia memandangi apartemen itu. Diambilnya air di dalam timba terakhir. Disiramnya tanaman hias yang sedikit memiliki nilai estetika disekitar sumur tadi;pohon pisang, anyelir, adenium, dan bonsai pohon asem yang berdaun ompong. “Duh, aduh... Udah jam berapa Ais?” Tiba-tiba suara si Emak menggelegar. “Biasanya jam berapa Mak?” jawab Ais. Emak segera memungut sandal jepit multi warnanya. “wussss…Plak!” Lemparan pertama meleset. Pohon adenium berbunga merah blasteran putih tulang menjadi korban ke ganasan sandal Emak. “Lho, Mak! Kasihan adeniumnya! Kan..” belum sempat melanjutkan omongannya, Emak sudah memasang kuda-kuda. Seperti tokoh pendekar dalam cerita-cerita karya Chin Yung. Alis Emak sudah mengkerut. Matanya menjuling. Segera Aisyah melepaskan timba yang berisi sedikit air. Ia berlari menerobos ke kamar mandi. Belum sempat Emak melepaskan sandal ke duanya yang berwarna biru. “Slamet..slamet..!” Bisik Aisyah dalam kamar mandi.
Srrrrriiiiikkk…Gletak!!!...Byuuurr..! Dan suara teriakan terdentum. “Aisyaaaaaahhhh!” Aisyah tersentak. “Ya.. Mak?” Sahut Ais dari dalam kamar mandi. Kemudian kepalanya menjulur keluar dari balik pintu. Celana boxer dan handuk biru tadi yang menempel ditubuhnya. Dilihatnya Emak sedang basah kuyup dengan posisi kuda-kuda ala jago silat. Tentunya sandal jepit biru ditangan kananya. “Lho? Emak kok mandi lagi?” Imbuh Aisyah. Ia lantas masuk kembali ke kamar mandi setelah mendapat lirikan tajam disertai muka suram Emak. Siulan tak berdosa pun segera bersua dari balik pintu kamar mandi. Disertai bunyi deburan air dari gayung yang menabrak tubuh dan jatuh ke tanah.

**
Sebuah buku tulis dan catatan kecil dalam lembaran acak ia masukkan ke dalam tas sekolah. Sebenarnya tidak seperti tas sekolah. bentuknya lbeih mirip kantung beras putih yang bertali di sisinya, sehingga bisa digendong di balik punggung. Kata orang-orang sih tas gaul. Tapi Aisyah sudah memakai tas itu setika masuk SD 14 tahun yang lalu, sekitar tahun 1994. Pas waktu anget-angetnya pelajaran P4, dan puncak kejayaan Pramuka. “Nasi, tempe, kangkung, sambel. Emm.. enak nih?” Celotehnya sambil mengamati menu makanan di meja makan. Air minum ia tuangkan dari kendi yang terbuat dari tanah liat ke gelas berbahan alumunium. Piring platik, bukan berbahan melamin, nasi dua entong, tahu dua potong, tempe dua potong, dan sambal tiga sendok makan. “Lha, kepuruknya mana Mak?” teriaknya kepada Emak yang sedang menyapu halaman rumah.
“Di atas lemari bupet!” Sahut Emak.
“Tinggal 3 biji ya Mak? Kira-kira Emak bisa habisin berapa?”
“Satu aja cukup.” Aisyah mengambil 2 biji kerupuk putih berbandrol Rp. 200 per biji tersebut. Hidangan sarapan dilahapnya. Tidak lupa ia cuci dulu piring dan gelas. Tanpa sabun cuci dan usap-usap, yang penting kelihatan bersih, masa bodoh dengan higienis, steril, dan kawan-kawan.
“Mak, Ais berangkat cari ilmu lagi! Emak masih kerasan kan dirumah sendirian?” Aisyah berpamitan. Cium tangan kanan dulu. Aisyah melesat melewati pagar rumah tetangga. Menyelinap di balik gang kancil. Melewati jembatan yang melayang diatas sungai berair sampah dan sejenisnya. Atau bukan sungai, comberan. Lalu menghilang dari pandangan Emak.
Sejak kelas 4 SD, Aisyah hidup dua batang kara bersama Emak. Dunia ditinggal bapaknya ketika bergejolak peristiwa Reformasi berkecamuk di tahun 1998. Bapaknya bernama Cok Tjian adalah salah satu korban kerusuhan yang terjadi di Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kerusuhan yang dipicu penembakan aparatur pemerintah terhadap Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Aisyah dan ibunya tidak pernah menyemayamkan bapak satu-satunya itu. Tapi Emak yakin suami tercintanya itu sudah tiada. Emak beberapa kali ditemui bapak lewat mimpi. Dan Emak percaya itu benar-benar petunjuk dari yang Maha Kuasa.
Hidup berdua di rumah sederhana dengan bunga-bunga alakadarnya bukan hal mudah. Setidaknya ketika tahun-tahun pertama dan kedua. Emak harus berjuang menjadi orangtua single. Sedangkan Aisyah harus berusaha menjadi single child. Artinya, pupus sudah keinginannya mempunyai adik. Berbeda dengan sahabatnya, Yona, yang orangtuanya langsung meberikan dua orang adik sekaligus dalam sekali produksi. Mungkin saja orangtua Yona gemar Puasa Patigeni dan menguasai aji Semar Mesem. Jalan Tuhan memang selalu indah untuk hambanya. Hal inilah yang mendasari kekuatan Emak dan Aisyah bertahan. Bisa saja Aisyah memiliki adik, tapi ia tidak ingin adik berbeda bapak. Tapi masa iya, Emak bisa punya anak dengan orang yang sudah mati? Jangan-jangan disangka Bunda Maria second edition? Tapi itu mungkin bin mustahil. Lho? Jadinya ya tidak mungkin.

Aisyah mengakrabkan diri dengan satpam sekolah. Seperti lagak Ki Juragan pada awal kisah perang Campuh – Karta Sura dan Sura-Baya – waktu kembali ke Paronggahan bersama Panji Sugeng Rana. Pak Beno, itulah nama satpam sekolah yang bagian jaga pintu masuk. Orangnya pendek dan berkumis tebal. Kepalanya sedikit kotak dengan variasi hidung lebar. “Pak, dulu pernah punya pacar nggak waktu SMA? Berapa pak?” Tanya Aisyah sok akrab.
“Ya mesti punya.” Jawab pak Beno dengan nada sedikit congkak.
“Mirip siapa pak?” Aisyah memancing pembicaraan.
“Yang pasti jauh beda sama kamu.”
“Ooo..” Aisyah membalikkan badan. Ia mulai memandangi jalanan dan sekitar. “Cowok pak?”
“Opo? Yo pasti cewek, wadon, harim.” Pak Beno menyambar Aisyah. “Saya sudah hafal jurus kamu, ndak bakal mempan dan ndak bakal mujarab lagi rayuan basi-basa kamu.” Pak Bona keluar dari pos jaganya. Memegangi kunci gerbang dan berjalan sombong ke depan. Putar badan, dan berjalan ke depan lagi.
“Nanti malam jagoin siapa pak?” Aisyah mencoba meleburkan suasana. Ia tahu ada pertandingan final liga champions eropa nanti malam.
“Ya pasti MU to!” Sahut pak Beno.
“Berani pasang berapa pak?”
“Nantang nih ceritanya?” Pak Beno semakin menjauh dari pos jaganya.

Bersambung..

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...