Analisa Singkat Kuliah Umum
Kebudayaan Indonesia[1]
Oleh, Oejank Indro
Sejarah
manusia ditulis oleh manusia itu sendiri. Begitu juga dengan budaya manusia. Hanya
manusia yang mampu memetakan hasil kebudayaan dan memahami sumber
kebudayaannya. Namun budaya manusia tidak terlepas dari aktivitas manusia
dengan manusia lain dalam sebuah komunitas. Aktivitas tersebut, menurut Mudji
Sutrisno (selanjutnya disebut MS), dapat dikatakan sebagai seperangkat sistem
makna yang dimiliki komunitas untuk melukiskan hidup dengan cara menuangkannya
melalui sistem simbolik – yang memuat pandangan hidup, pandangan dunia, yang
dilakukan sehari-hari sebagai dasar aktivitas kehidupannya.
Sebagai
pendahuluan, MS menjelaskan empat tingkatan pandangan hidup manusia secara
hierarki mulai dari common sense,
ilmu pengerahuan, estetika, dan agama.
Common sense mengulas tentang sebab-akibat terjadinya sesuatu. Ilmu pengetahuan mencerminkan keingintahuan manusia melalui cara-cara ilmiah. Estetika merupakan luapan pemaknaan ‘indah’ – baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Terakhir adalah agama, tingkatan ini merupakan tingkat tertinggi dalam diri manusia. Keempat hal tersebut terbingkai dalam proses pembudayaan yang merupakan kinerja budaya untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab.
Common sense mengulas tentang sebab-akibat terjadinya sesuatu. Ilmu pengetahuan mencerminkan keingintahuan manusia melalui cara-cara ilmiah. Estetika merupakan luapan pemaknaan ‘indah’ – baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Terakhir adalah agama, tingkatan ini merupakan tingkat tertinggi dalam diri manusia. Keempat hal tersebut terbingkai dalam proses pembudayaan yang merupakan kinerja budaya untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab.
Adapun
proses pembudayaan yang disampaikan MS memiliki dua arah pematangan – melalui
pengahayatan berjamaah. Pertama,
kamanusiaan yang beradab. Artinya, manusia akan mengembangkan nilai saling
menghormati dan menghargai peradabannya sesuai harkat atas manusia lainnya. Harkat
atas manusia lain itulah yang menyebabkan proses pembudayaan menjadi titik balik peradaban yang secara
terus-menerus melawan anarki, pengahancuran kemanusiaan, dan kebiadaban. Jika
melihat sejarah, proses manusia menentukan bahwa ini ‘anarki’, itu ;jahat’, ini
‘biadab’, dan seterusnya, tidak terjadi secara instan. Oleh karena itu – yang kedua, proses pembudayaan dimatangkan
oleh humanisasi, yang menurut MS diartikan sebagai usaha mencipta sistem
sosial, sistem hukum, sistem politis, dan sistem ekonomi untuk semakin
manusiawi.
Sampai
disini, proses humanisasi memerlukan; (1) perubahan mentalitas manusia dari
sistem nilai dehumanis ke mentalitas humanis, (2) perubahan kondisi struktural
dan lingkungan belajar – ruang budaya, (3) pencapaian komitmen anggota untuk
member yang terbaik dari posisi sosial, ekonomi, politis, dan kultural sebagai
sebuah bangsa ataupun negara.
Berdasar
pada rumusan MS diatas, kesesuaian dengan kondisi bangsa Indonesia dapat
dilihat dari keanekaragaman suku-suku bangsa sesuai dengan tipe-tipe sosial
budayanya – Theory of Cultural Change,
Stewart. Setidaknya, menurut Koentjoroningrat (1975), bangsa Indonesia memiliki
enam tipe sosial budaya, yaitu; (i) tipe masyarakat berkebun yang masih
sederhana; (ii) tipe masyarakat pedesaan yang berkebun dan bertani tapi tidak
mengalami gelombang pengaruh Hindu dan Islam; (iii) tipe masyarakat pedesaan
yang berkebun dan bertani yang tidak dipengaruhi gelombang Hindu tapi pengaruh
Islam cukup besar; (iv) tipe masyarakat Indonesia berdasarkan bertani, semua
gelombang pengaruh budaya asing dialami; (v) tipe masyarakat perkotaan yang
mempunyai cirri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdaganan dan industri
yang lemah; (vi) tipe masyarakat metropolitan yang didominasi oleh aktivitas kehidupan
pemerintah dan berkembangnya sektor perdagangan dan industri.
Tipe-tipe
masyarakat diatas memberi dampak munculnya kebudayaan lokal yang beraneka
ragam. Tidak hanya memunculkan fenomena tersebut, pengaruh teknologi juga
menggeser tipe-tipe masyarakat tersebut. Seperti yang diungkapkan MS diatas,
proses dehumanisasi ke humanisasi juga akan memunculkan fenomena local genius[2].
Local Genius didefinisikan Soediman (dalam Siti, 2000: 503) sebagai, “Ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama
oleh sebagian bangsa sebagai hasil pengalaman hidupnya di masa lalu.” Hal ini tentu penting untuk dilihat sebagai
bagian pembudayaan (kulturalisasi) yang diungkapkan oleh MS diatas. Dus, secara langsung proses pembudayaan
ini berkaitan dengan dua dari empat tingkatan pandangan hidup diatas, yaitu
agama dan estetika. Dari pandangan agama, wujud dan isi kandungan budaya
merupakan representasi bahwa ‘produk’ budaya dalam masyarakat beragama
merupakan hasil dialektika agama dan budaya lokal (Siti, 2000: 507). Hasil
dialektika tersebut kenyataannya lebih mudah diterima daripada proses
pembudayaan estetika di dalam ‘produk budaya’ itu sendiri. Hal ini dapat
disebabkan oleh kentalnya tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia yang
plural. Pertanyaannya adalah seberapa penting
peran estetika dalam proses pembudayaan?
Ngomong
Estetika
“Estetika
adalah apa-apa yang indah serta ‘mulia’ dari dalam kehidupan.” Begitulah Prof.
Mudji Sutrisno memaparkan pada bagian ‘1’ dalam artikel “Jalan Seni & Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa”. Tentu yang
dimaksud pada kalimat tadi adalah dalam hal ‘meniti jalan seni’. Ada banyak
jalan penghayatan estetika, baik dalam hal lukis, tari, suara, upacara, dan
sebagaiya yang disandarkan pada warna-warni kehidupan, alam semesta, dan
keharuan kepada Sang Pencipta kehidupan.
Memosisikan
seni sebagai sesuatu yang estetik termasuk bagian proses pembudayaan. Mengapa?
Karena taste (rasa) setiap manusia
berbeda, meskipun memilki latar belakang pembudayaan yang sama. Seringkali kita
terjebak dalam penilaian terhadap sesuatu hal yang estetis atau normatif?
Contoh ketika seorang wanita telanjang melumuri tubuhnya dengan cat, lalu
berguling-guling diatas kanvas raksasa, atau ketika, maaf, payudara dijadikan
media ekspresi lukisan. Tentu kedua contoh tersebut memiliki dua konsekuensi.
Apakah hal tersebut dikatakan ‘seni’ atau ‘pornografi’? Hal ini tentu akan
menimbulkan perdebatan panjang – karena bermula dari common sense manusia itu sendiri. Akibatnya, subyektivitas
masing-masing orang dalam merasai
adalah dominan. Jika demikian, maka dimana peran estetika dalam
merasai-menilai? Apakah hanya sebatas parameter normatif untuk menentukan itu
buruk dan ini indah, itu seni dan itu sampah? Atau estetika tidak terbatas pada
prinsip normatif yang justeru akan
mendisposisikan praktik-prakti berkesenian.
Estetika
itu filsafat, lebih tepatnya filsafat keindahan. Namun, keterlibatan estetika
dalam ranah seni/kesenian sebagai core-nya,
seringkali estetika disebut sebagai filsafat kesenian. Keadaan demikian
berbanding lurus dengan konteks historis estetika itu sendiri, yaitu sebagai
teori tentang keindahan – hakikatnya, apa itu indah? – dan teori mengenai seni
– seni itu apa? Teori estetika sebernarnya baru mencuat pada abad ke XVIII,
tepatnya setelah kata ‘indah’ memiliki penfsiran sama dengan ‘memiliki nilai
estetik’. Sejarah mencatat perdebatan panjang seputar konsepsi estetika seyogyanya. Dimulai dari Plotinus
(204-269) yang membawa pengaruh besar pemikiran Plato (428-348 SM), pandangan
Marsilio Ficino (1433-1499), pandangan Shaftesbury yang menegaskan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk merasai (faculty
of taste) yang berfungsi ganda; (1) memberi pertimbangan baik-buruk
mengenai perilaku – moral judgment;
(2) sebagai alat peka akan keindahan (sense
of beauty) dalam menimbang kadar estetika sesuatu. Pendapat Shaftesbury ini
kemudian ditentang oleh Francis Hutcheson yang mendefinisikan estetika bukan
sebagai nama dari sesuatu yang transenden – yang dipahami Plato dan Aquinas.
Keindahan Hutcheson adalah “ide yang muncul pada kesadaran manusia’. Sejak itu
konsepsi estetika/keindahan disubyektivisasikan.
Seperti
ungkapan MS, pada awalnya kehidupan memang dihhayati dengan keindahan. Di
sinilah realism kehidupan berhadapan dengan surrealism kehidupan ditangan dan
di mata seniman. Pemaknaan atas sesuatu ‘diserahkan’ kepada masing-masing
individu. MS menerangkan bahwa teori mengenai estetika yang pertama adalah
toeri ritual, artinya seni berhubungan erat dengan ritus dan upacara
penghormatan terhadap kehidupan yang miserius, eksotis, dan dahsyat ini. Baik
berupa puisi, prosa, tarian, dan perupaan. Teori estetika, menurut MS, adalah
penalaran dan perumusan apa itu pengalaman estetis – dengan usaha melampaui “apa itu titik estetis dan apa itu yang tak terungkap
dan terucapkan ketika orang berdecak kagum atau tersentuh secara mendalam pada
tragedi hidup yang ditampilkan pada pertunjukan drama.” Keterbatasan
kemampuan manusia dalam merumuskan logis pengalaman estetis– yang bersifat beyond logic - inilah yang menuntun ke arah subyektivitas –
konsepsi gejala-gejala atau fenomena.
Merujuk
pada konsepsi estetika yang dikemukakan Emanuel Kant, daya estetika – faculty of taste – yang berfungsi dalam
budi manusia itu memiliki empat ciri
khusus; (1) disinterestedness,
tanpa pamrih. Disini fungsionalisasi daya yang dimaksdud harus bersih pamrih
dan keinginan-keinginan atau pertimbangan-pertimbangan lain, kecuali penikmatan
akan keindahan yang bersangkutan; (2) bercirikan universal. Jadi, fungsi daya
estetika itu berlaku umum bagi seluruh manusia; (3) adanya ke-mutlak-an, tidak
bisa tidak. Artinya, kehadiran daya ini dalam budi manusia adalah mutlak, meski
kadar kehadirannya berbeda antarmanusia; (4) mempunyai tujuan, kemampuan
estetik dimaksud secara langsung mengenal rupa yang terarah dan memiliki maksud
tertentu. Terlepas dari perdebatan pemaknaan estetika, pemahaman yang sedehana
terhadap seni – dalam pandangan MS – sebagai jalan untuk menghayati kehidupan
dari segi estetika – seutuhnya – yaitu ranah apresiasi, merupakan hal yang
penting dan sangat korelatif terhadap kondisi Indonesia yang memiliki sekitar
450 suku bangsa yang mengikrarkan dirinya sebagai bangsa Indonesia.
MS
menuliskan tentang simpllifikasi wilayah kehidupan sebagai tempat jelajah
kebenaran merupakan suatu wilayah verum (benar),
bonum (etika), pulchrum (estetika). Jika kita hanya melihat kehidupan
multidimensional sebatas tiga hal tersebut, maka akan diketahui bahwa yang
‘baik’ dari hidup ini dikenal dan dijelajahi sebagai ranah etika, ‘benar’ dan ‘logis’ terbungkus dalam filsafat epistemologi, dan yang ‘asri atau
indah’ dari kehidupan merupakan cakrawala luas estetika. Pada akhirnya, estetika – pada hakikatnya – dalam seni
harus berhdapan dengan dua pilihan; apakah ia hanya sekadar keindahan, atau
keindahan yang dicapai dan difilterisasi-reflektif melalui internalisasi total
terhdap dimensi kemanusiaan dan kemasyarakatan – yang selalu kompleks.
Daftar Pustaka:
Fawaizul Umam.
2000. Estetika “Seyogyanya” dalam Jurnal Gerbang Vol. 07. No. 03. Mei-Juli
2000. Hal. 2-19. Surabaya: eLSAD
Hatta, Moh.
1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta:
UI-Press.
Mudji Sutrisno
SJ. 2012. Jalan Seni & Kebhinekaan
Kita Sebagai Bangsa. dalam Kuliah Umum Kebudayaan Indonesia. 21 Pebruari
2012 di Auditorium Gedung IX, FIB UI.
_______. 2012. Ruang Kebudayaan: Pengantar. dalam Kuliah Umum Kebudayaan Indonesia. 21 Pebruari 2012
di Auditorium Gedung IX, FIB UI.
_______. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta:
Kanisius.
Siti Chamamah S.
2006. Agama dan Dialektika Pemerkayaan
Budaya Islam-Nasional. dalam buku Menjadi
Indonesia. Bandung: Mizan
[1]
Kuliah umum Kebudayaan Indonesia. Dilaksanakan pada tanggal 21 Pebruari 2012
bertempat di Auditorium Gedung IX, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat.
[2]
Istilah yang dimunculkan pertamakali oleh H.G Quaritch Wales dalam bukunya The Making of Greater India: A Study of
Southeast Asian Cultural Change (1948-1949).
No comments:
Post a Comment