Oleh, Oejank Indro
Sejak pagi
buta bu Karso sudah sibuk dengan berbagai aktvitas memasak. Kali ini berbeda.
Benar-benar berbeda. “Segala sesuatunya harus pas!” Katanya dalam hati.
Ditemani kucing keluarga. Ia mondar-mandir, meracik bumbu, menuangkan air,
mencuci piring, dan menyajikannya di meja makan. Sesekali ia melihat jam di
dinding, diatas pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur.
Hei kucing,
kenapa kau melihatku seperti itu? Belum pernah kan kau lihat aku sesibuk ini kala pagi? Asal kau tahu, kucing, ini
hari spesial.
Dengan mata
yang tajam, bu Karso memindai satu per satu bahan makanan yang mulai terlihat
seperti makanan, dan siap dimakan. “Sebentar! Bumbu soto? Siap! Lodeh? Oke!
Nasi? Sebentar lagi! Kopi? Tinggal seduh.” Dilihatnya kucing tadi masih
memperhatikan gerak-gerik bu Karso yang sedang mondar-mandir. “Hei puss,
bagaimana menurutmu? Apakah suamiku akan terkesan dengan hidangan ini?” …
“Tidak? Kenapa tidak?” … “Oh, iya.. aku tahu apa yang kurang. Sambal? Emm..
kerupuk?”
Nah, ini baru
pas! Bagaimana menurutmu, kucing?
Hidangan sudah
tertata rapi di meja makan. Bu Karso bersiap untuk mandi, beribadah, dan
kembali memberikan sentuhan akhir pada masakannya.
Sudah pukul
setengah 7 pagi. Bu Karso meletakkan sendok-garpu di meja makan. “Sudah siap!”
Katanya puas. “Semoga suami dan anakku tidak kecewa.”
“Cuma itu yang
kau harapkan? Sedangkal itukah pikiranmu?” Tiba-tiba si kucing tadi bicara. Bu
Karso clingak-clinguk. Dalam hatinya
ia bergumam, siapa yang berbicara? Tidak ada orang lain di dapur? Ia mengintip
ke ruang tamu melalui jendela dapur. Menyapu pandangan melewati sela-sela pintu
belakang rumah. Mengendap-endap dan melongok ke dalam kamar mandi.
“Ini aku,
kucingmu.” Bu Karso tersentak, bulu kudunya mulai tegak berdiri. Benar itu kau?
Kucing? Kau.. kata bu Karso terbata.
“Jangan kaget
bu Karso. Semua mahkluk Tuhan itu bisa bicara, pohon, hewan, air, gunung,
udara, semuanya bicara. Bukan hanya manusia saja yang bisa bicara!” Bu karso
tertegun. Ia kembali duduk di kursi dekat meja makan. Matanya memperhatikan si
kucing. “Kenapa tidak dari dulu kau bicara, cing?” Tanya bu Karso. “Maksudku,
bicara kepadaku.”
Si kucing
meubah posisi duduknya. Ia berjalan mendekati bu Karso. Sontak bu Karso
terlihat kagok. Tapi sudah tidak
takut lagi.
“Aku menjadi kucing,
karena aku anak dari bapak kucing. Kau menjadi manusia, karena kau anak
manusia. Sudah lama aku bersahabat dengan manusia.” Bu Karso dengan antusias
mendengarkan omongan si kucing. Ia mengambil posisi layaknya soerang siswa di
dalam kelas. Si kucing melompat ke meja makan. Spontan bu Karso mengusirnya.
Namun si kucing hanya diam dan duduk manis sambari melempar senyum. Kontan bu
Karso melongo.
“Kau kucing
ajaib?” Tanya bu Karso polos. Si kucing menggaruk-garuk punggung dan lehernya.
“Aku kucing biasa. Sama dengan kucing tetanggamu.” Jawab si kucing. Bu Karso
semakin bingung. Ia mengamati lagi si kucing. “Apa yang hendak kau bicarakan,
kucing?” tanya bu Karso lagi.
Makanan!
Si kucing
dengan semangat menjawab. “Tahu apa kau soal makanan? Dari dulu makananmu itu
itu aja, ikan. Kau mau sate?” Bu Karso menimpali lantas tertawa lebar.
Si kucing
tersenyum kecut.
Manusia memang
semakin lama semakin tidak bisa menghargai sesama. Tidak heran jika binatang
sepertiku juga dihinanya. Seolah manusia dimuka bumi sudah tidak ada yang bisa
dihina lagi.
Bu Karso
terdiam. Ia memandangi si kucing yang seolah menjelma seperti kiyai. Nuraninya terenyuh.
Lidahnya kaku dan diam. Si kucing
melanjutkan. “Beruntung kau diciptakan Tuhan sebagai manusia. Tapi tidak
seberuntung aku, kucing, dan juga anjing, cicak, ular, kupu-kupu, dan
lain-lain.”
Dalam hati bu
Karso bertanya-tanya. Bukankah manusia itu mahkluk paling sempurna yang
diciptakan Tuhan? Paling pintar? Paling hebat dan tinggi derajatnya diantara
makhluk Tuhan lainnya? Kok bisa si kucing lebih beruntung?
“Karena kau
hidup di jaman akhir.” Si kucing tiba-tiba menjawab. Bu Karso makin bingung. Ternyata
si kucing juga mampu membaca kata hati manusia. “Aku beruntung menjadi kucing,
karena aku tidak makan makanan saudara se-binatang. Kambing cukup makan rumput.
Ayam cukup cacing, padi, dan jagung. Cicak sudah bersyukur memakan nyamuk,
serangga, dan kecoa. Padahal cicak tidak punya sayap, benar?”
Bu Karso
mengangguk. Menelan ludah dan mengambil nafas dalam-dalam. Si kucing
melanjutkan permbicaraannya. “Kau tentu tidak pernah mendengar krisis pangan di
dunia kami. Kau tahu alasannya?” Tanya si kucing. Bu Karso hanya menggelengkan
kepalanya.”
“Karena kami
tidak rakus sepertimu. Kami cukup dengan apa yang diberikanNya. Karena kami
percaya Tuhan itu maha adil. Semua ada tempatnya. Segalanya sudah ada
bagiannya.” Si kucing mendekati bu Karso. Bersipu di sebelahnya. Di atas meja
makan sebelah kanan.
“Tidak
sepertimu, apa-apa mau, segala-galanya kurang. Aku tidak perlu berpikir makanan
apa yang aku makan untuk besok. Karena Tuhan sudah menyiapkannya.”
Tentunya kau
tidak pernah memikirkan perasaan tumbuhan dan hewan yang sudah kalian makan. Asal
kau tahu, mereka yang bakal kau santap, sudah mengiklhaskan diri mereka untuk
kau makan. Kau ingin tahu apa yang mereka katakana sebelum kau memakannya? Memasaknya?
Bu Karso
kembali mengangguk. Ia pasang telinga baik-baik.
“Tuhan, aku
rela menjadi makanan bagi mahklukmu yang lain supaya mereka mampu merasakan
nikmatMu, bertahan hidup untuk mendekati jalanMu, menjalankan perintahMu,
menjauhi laranganMu, dan menghargai ciptaanMu selain aku.” Kata si kucing.
Matahari mulai
meninggi. Bu Karso melihar ke arah jendela, langit yang gelap perlahan memerah
dan cerah. “Semakin banyak manusia yang tidak peduli lagi pada sesama mahkluk
Tuhan. Aku menyadari itu, tapi kalian tidak kunjung sadar, hanya sedikit orang
saja yang sadar.” Ujar si kucing seraya melompat ke lantai. Ia kembali merebah
seperti sedia kala. Bu Karso merenungkan perkataan-perkataan si kucing hingga
terdengar suara piring beradu dengan sendok-garpu.
Karin
melenggang turun dari kamarnya di lantai dua. Sudah berpakaian lengkap untuk ke
kampus. “Karin! Ayo makan dulu. Ibumu sudah masak makanan spesial.” Teriak Karso
yang sudah duduk manis menghadapi hidangan di meja makan.
“Iya pak!”
Jawab Karin singkat. Ia segera mengambil piring, makanan, dan menyantap
hidangan dengan lahap bersama Karso.
“Lho, ibu nggak makan? Kok malah bengong?” Tanya
Karin. Bu Karso semakin bingung. Ia melihat si kucing tadi. Tapi si kucing
sudah tidak di tempat. Matanya menguasai sekitar. Melihar Karin dan Karso yang
lahap makan.
“Karin, bapak,
maafkan ibu, ibu selama ini hanya memikirkan bagaimana menyajikan makanan yang
enak.” Karin dan Karso clingak-clinguk
bingung. Apa yang sedang dibicarakan bu Karso?
“Seharusnya
ibu memiliki niatan menyediakan sarapan untuk kalian, supaya…” Belum selesai bu
Karso berbicara, Karin memotong, “Supaya kami bisa lebih mensyukuri hidup yang
diberikan Tuhan, melaksanakan perintah Tuhan, menghargai makhluk Tuhan yang
sudah kami makan?”
Bu Karso
tercengang. Ia masih ling-lung. Seolah ia baru bangun dari mimpi singkatnya. Tapi
hidangan sarapan yang ia sajikan nyata-nyata sedang dinikmati anak dan
suaminya. Dalam hati bu Karso berkata, “Alhamdulillah, semoga Tuhan senantiasa
melimpahkan ramhat untuk keluargaku.” Sambil menarik nafas panjang dan
memejamkan mata. Ketika membuka mata, bu karso melihat si Kucing muncul dari
pintu belakang rumah. Si kucing melihat ke arah bu karso seraya melempar senyum
kecil, lalu melenggang pergi ke luar rumah.
Depok, 20 Februari 2012