Oleh, Oejank Indro
Pada suatu pagi yang kelam, mendung tak berhujan dan angin tak
berhembus kencang. Bersandar di sofa bercorak mawar ditemani lembaran berita
koran mingguan, Karin mengutak-atik editorial yang bertuliskan “Jurnal Ilmiah
Syarat Wajib Kelulusan.” Sesekali ia melihat siaran berita televisi yang
dihiasi korupsi, gengsi, dan cinta-cintaan. “Apa tidak bosan rakyat Indonesia
disuguhi informasi abal-abal seperti ini?” Gumam Karin.
“Nyata-nyata rakyat Indonesia dibutakan demokrasi. Ingat waktu pecah
peristiwa Reformasi. Semua mendewakan demokrasi, seolah-olah menegakkan
demokrasi itu mudah. Jika mereka masih ingat pelajaran sejarah kelas XI SMA,
Pois Athena yang mengagungkan demokrasi ternyata lebih mudah dihancurkan. Lalu,
apa yang kita harapkan dari demokrasi? Kebebasan? Orang nyata-nyata makin
banyak orang bablas. Bablas miskin, bablas bodoh, bablas punya anak padahal
belom nikah.”
Diambilnya remote televisi di atas meja, dengan kesal Karin mematikan
televisi, melipat koran, dan melenggang ke halaman belakang rumah. Disana ia
bertemu bapaknya, Karso, yang sedang
kegirangan memberi makan ikan. Karin dengan muka kesal segera menghampiri Karso.
“Kenapa sih pak, pemerintah itu nggak bisa mengerti. Bisanya cuma
pura-pura ngerti aja.” Tanya Karin.
Karso tersenyum, “Maksud kamu apa? Sudah syukur kamu bisa hidup cukup,
kuliah, dan kebutuhan sehari-harimu terpenuhi.”
Karin semakin kesal.
“Kenapa selalu itu jawaban setiap orang tua kepada seorang anak yang
beranjak dewasa? Apa mereka pikir anak-anak sekarang sama dengan masa
kanak-kanak mereka?” Gerutu Karin. Karso menghentikan taburan makanan ikan ke
kolam. “Lalu mau kamu, jawaban seperti apa?” Karso balik bertanya. Karin
akhirnya mendapat kesempatan mengeluarkan uneg-unegnya.
“Bapak pasti tahu jurnal ilmiah yang sekarang jadi topik pendidikan.” Ujar
Karin. Karso masih memandang ke kolam ikan piaraannya. “Lalu kenapa? Kamu keberatan?”
Kata Karso.
“Siapa bilang Karin keberatan.”
“Lantas? Mau kamu apa?”
Karin semakin kesal. Sepertinya ia akan benar-benar meletupkan segala
apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya. Bak letusan gunung Merapi. “Karin
kasihan pak.” Kata Karin. Karso berbalik menatap anak satu-satunya itu. “Kenapa
kasihan? Kan bagus program dari Dikti itu? Jadi mahasiswa Indonesia lebih
berkualitas.” Karso menanggapi. Mereka berjalan ke teras belakang rumah.
Belum sampai di teras belakang untuk duduk. Bu Karso memanggil pak
Karso, ia mengabarkan bahwa pak Burhan sudah datang. “Suruh dia masuk. Ketemu disini
saja bu.” Kata Karso singkat. “Jadi bagaimana pak?” Karin masih saja bertanya.
“Kamu disini saja. Pak Burhan ini orang Dikti. Nanti kamu simak
pembicaraan bapak sama dia.” Jelas Karso kepada Karin. Namun Karin seolah
memiliki peluang emas untuk mengeluarkan isi pikirannya tadi langsung kepada
pak Burhan. Meskipun ia juga menyadari aspirasinya belum tentu sampai ke
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. “Ingat! Kamu cukup menengerkan
pembicaraan. Jangan ikut campur. Mengerti?” Tegas Karso.
Karin tidak bergumam sedikitpun, ia malah menampakkan wajah kesal.
“Selamat pagi pak Karso. Apa kabar?” Sapa pak Burhan ramah. Ia mengambil
tempat duduk disebelah pak Karso, menaruh tas ransel tebal di kaki kursi kayu
sederhana. “Selamat pagi juga pak Burhan. Ada keperluan apa nih? Tumben-tumbenan main ke gubuk saya.”
Jawab Karso merendah.
“Begini lho pak Karso, saya semakin bingung dengan pelajar kita,
anak-anak muda kita, generasi penerus kita.” Pak Burhan mengeluh.
“Lho kenapa? Menurut saya pemuda kita semakin lama semakin pro-aktif,
dan mereka semakin sensitif dengan masalah tanah air.” Karso menimpali. Pak Burhan
semakin menampakkan wajah yang muram. “Iya, bapak betul. Mereka semakin pintar
dan cerdas. Tapi, semakin susah mengendalikan kepintarannya. Coba bapak lihat
di kolom media pelajar. Berapa banyak pelajar kita yang mendukung percepatan
pembangunan nasional? Tidak banyak pak! Sekarang itu semakin banyak pemuda kita
berilmu tinggi, tapi ilmu mereka digunakan untuk merendahkan sesamanya. Merasa hebat
belajar di perguruan tinggi favorit, merasa mereka paling tahu anu, paling tahu
ini, itu. Dan hal yang paling membuat saya gelisah pak Karso.” Pak Burhan
mencondongkan badan ke arah Karso. Karso pasang badan.
“Pelajar kita itu mulai tidak percaya pada guru, dosen, bahkan professor
dan pakar pendidikan tanah air. Bapak sudah lama menjadi guru bukan? Apa bapak
tidak merasakan gejala itu.” Tegas pak Burhan. Karso melirik Karin. Ia memikirkan
anak satu-satunya itu. Dalam hatinya Karso merenungkan tingkah laku anaknya
sendiri. Benar juga perkataan pak Burhan. Jangankan siswanya di sekolah,
anaknya sendiri memiliki gejala yang sama. Tapi pak Karso tidak semudah itu
meng-iya-kan perkataan pak Burhan.
“Tidak semua pelajar kita seperti itu.” Kata Karso. “Masih banyak
pemuda yang baik di negeri ini.”
Pak Burhan dengan cepat menanggapi. “Tidak banyak pak! Buktinya, surat
edaran Dikti No. 152/E/T/2012 tentang jurnal ilmiah sebagai syarat
kelulusan mahasiswa dari S-1, S-2, dan S-3, sudah diprotes banyak kalangan. Padahal,
asal bapak tahu, itu adalah cara yang mujarab untuk memajukan pendidikan kita. Kita
itu masih tertinggal jauh lho pak
dengan Malaysia. Maka dari itu, Dikti mewajibkan seluruh mahasiswa untuk menulis
jurnal. Kata atasan saya, bapak Menteri Pendidikan & Kebudayaan, mahasiswa
itu harus dipaksa menulis. Urusan kualitas, itu nanti, yang penting ada dulu.”
Karso mencermati. Merenungkan kembali perkataan pak Burhan dalam-dalam.
“Memang harus ada perubahan. Tapi, apa tidak sulit pak implementasinya? Ada ratusan
ribu perguruan tinggi di Indonesia lho pak!” Tanya Karso.
“Bagaimana mau tambah berkualitas kalau dadakan. Tidak matang. Tidak profesional.
Tidak terukur dan asal-asalan.” Cetus Karin. Ia seolah tidak tahan lagi dengan
ocehan pak Burhan. Karso dengan sigap mengingatkan Karin, “Karin, tolong sopan
sedikit.”
“Tidak apa-apa pak Karso, anak-anak memang kadang tidak sengaja
berbicara seperti itu.” Pak Burhan merendah. Tapi dalam benak Karin, itu sama
saja dengan pelecehan.
“Siapa bilang Karin anak-anak? Karin sudah besar. Sudah bisa membedakan
mana yang baik dan buruk. Termasuk kebijakan wajib menulis jurnal ilmiah tadi. Itu
hal buruk yang akan mencemari pendidikan kita. Apa tidak ada cara lain untuk
menyaingi negara tetangga dalam hal jurnal ilmiah? Kenapa harus mendadak jurnal
ilmiah? Bukan perbaikan kualitas pendidikan dulu?” Karin semakin membara. Karso
kuwalahan.
“Karin! Hati-hati kalau bicara. Apa kamu diajari berkelakuan seperti
itu di kampus? Mengkritik kebijakan pemertintah seolah kamu lebih mengerti
masalah negeri ini.” Tegas Karso.
“Bapak juga. Bapak sudah puluhan tahun menjadi guru, tapi tidak peka
terhadap kebjikan instan ini.” Karin terus melanjutkan ocehannya.
“Karin! Sudah.”
“Apanya yang sudah. Apa pernah Dikti berdialog dengan mahasiswa seperti
Karin untuk kebijakan ini?”
“Karin! Kamu..”
“Apa?? Memangnya kalau mahasiswa tidak boleh bersuara? Kan yang melaksanakan kita pak! Yang pusing
itu kita, mahasiswa. Om Franz sudah melancarkan protes di koran Kompas,
Perguruan Tinggi Negeri saja masih banyak yang kuwalahan. Apalagi perguruan
swasta tingkat kota madya?”
Pak Burhan berkeringat dingin. Tapi ia sudah menyiapkan
pertanyaan-pertanyaan itu. “Kami sudah menyiapkan berberapa insrtrumen untuk
itu, Karin. Jurnal ilmiah itu baik. Ditjen Dikti sudah melakukan kajian sebelum
diluncurkannya kebijakan itu. Ini tantangan buat kamu dan teman-teman kamu. Apa
susahnya sih membuat jurnal ilmiah?”
Karin balik bertanya. “Memangnya bapak sudah pernah menulis di jurnal
internasional? Berapa banyak? Apa bapak setiap hari membaca jurnal ilmiah? Jangan
hanya tahu tetek-bengek proses
pembuatan jurnal ilmiah saja pak! Karin sudah sering menulis jurnal ilmiah,
karena Karin suka menulis. Sudah 3 kali tulisan ilmiah Karin di muat di jurnal
nasional, dan 1 kali di jurnal internasional. Bapak tahu?”
Pak Burhan menggelengkan kepala. “Bagaimana mungkin bisa menyaingi
negara tetangga jika pemerintah yang mengurusi pendidikan saja tidak peduli
pada peserta didiknya? Pemerintah Jepang saja rela mengeluarkan biaya 12
triliun dan 1 triliun per tahun untuk biaya operasional, guna membangun
fasilitas sinkrotron yang dibangun berasama SPRING8.”
Sekarang Karin berada di atas angin. Karso dan pak Burhan semakin
tersudut. Bahkan untuk berubah posisi duduk mereka pun tak segan. Karin melanjutkan ‘ceramah’ nya.
“Indonesia meluluskan ratusan ribu mahasiswa S-1 setiap tahunnya, ada
sekitar 16.000 program studi. Jika setiap program studi meluluskan 50
orang/tahun, aka nada 800.000 mahasiswa. Artinya, akan ada 6,4 juta lembar
jurnal ilmiah/tahun, dengan rata-rata 8 lembar per jurnal. Belum lagi urusan
penerbitan, reviewer sebuah jurnal
ilmiah juga bukan sembarang orang, dan tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Pak
Burhan tentu lebih tahu tentang itu.”
“Tapi kita punya jurnal online. Dan itu lebih efektif.” Kata pak Burhan
mencoba mengimbangi. Tapi Karin tentu juga menyiapkan jawaban pertanyaan tolol
itu dengan matang.
“Jurnal online? Universitas Indonesia yang memiliki kredibitas
penulisan jurnal imiah terbaik di negeri ini saja tidak mampu memanfaatkan
secara maksimal jurnal online internasional sekelas Proquest, J-Stror, dan
jurnal terakreditasi A lainnya. Lalu siapa yang akan membaca jurnal ilmiah itu
nantinya? Apa tukang becak? Berapa jumlah akademisi yang ada di Indonesia?
Berapa banyak mahasiswa Indonesia?”
Karso mulai gusar dengan ocehan anaknya. Ia bertukar pandang dengan pak
Burhan sesekali. “Karin sudah. Dikti itu berusaha memperbaiki pendidikan kita,
segala upayah sudah dilakukan, dan ini merupakan upayah yang bagus. Semakin banyak
tulisan ilmiah, akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita.” Pak Karso
mencoba mendinginkan Karin yang sudah membara.
“Karin tidak membantah Dikti sedang berusaha memperbaiki pendidikan
kita, pak! Hanya jalan yang ditempuh itu kurang baik. Banyak bukan berati
berkualitas, ujung-ujungnya akan banyak ‘sampah’ yang malah memperkeruh
khasanah ilmu pengetahuan kita.” Jawab Karin lantang.
Pak Burhan sudah tidak betah lagi. Keberadaannya sudah mulai tidak
nyaman bersama Karin. Entah bingung atau malu.
“Memangnya kamu tahu? Bisa memberi contoh kongkrit?” Tanya pak Burhan
dengan nada sedikit sinis. “Banyak!” Ujar Karin. Pak Burhan kembali serius.
“Bapak lihat saja selera musik pemuda kita. Semakin banyak musisi ecek-ecek, semakin banyak tiru-meniru,
semakin banyak program acara musik di televisi-televisi, apa semakin baik
perkembangan musik tanah air? Apa semakin berkualitas?” Pak Burhan tertunduk. Ia
semakin tersudut.
“Pertanyaan saya yang terakhir pak Burhan. Apakah 4 tahun seorang
mahasiswa belajar dari awal hingga tahun terakhirnya dengan sekuat tenaga,
pikiran, dan biaya yang semakin melambung, harus tertunda kelulusannya karena
menunggu giliran karya tulis ilmiahnya dipublikasikan? Apa sebanding dengan
ratusan SKS yang sudah ia selesaikan, bahkan dengan predikat kumalaude?”
Untuk pertanyaan ini, pak Burhan yakin akan mampu menjawab dan membalik
keaadaan. “Mahasiswa kan sudah
menulis skripsi, tinggal menulis ringkasan dari skripsi itu untuk jurnal
ilmiah. Tidak sulit kan? Lagipula tidak butuh tebal-tebal, cukup 8 halaman,
seperti yang kamu sampaikan tadi, Karin.” Jawab pak Burhan mantap. Karin terdiam
sejenak. Pak Burhan mulai bisa tersenyum.
“Benar itu Karin, sudah saatnya pendidikan kita bergerak maju.” Tambah Karso.
Karin meneteskan air mata, ia tidak bisa menahan lagi air matanya. “Kenapa kamu
menangis?” Tanya Karso. Pak Burhan dengan santai berucap, “Mungkin dia butuh
waktu untuk merenungkan semua ucapannya tadi.” Kata pak Burhan seraya melempar
senyum kemenangan kepada Karso.
“Karin, kamu tidak apa-apa nak?” Tanya Karso lagi. Karin mengusap air
matanya perlahan. Ia tertunduk.
“Karin membayangkan teman-teman Karin yang di Papua, mahasiswa di perguruan
tinggi swasta, mahasiswa di perguruan tinggi sederhana di pinggiran kota, mahasiswa
perguruan tinggi yang masih harus bertukar gedung dengan sekolah-sekolah SMA? Apa
mereka harus dipaksa menulis jurnal ilmiah? Apa mereka harus rela menunda lulus
kuliah karena jurnal ilmiah? Dan harus membanting tulang lagi untuk membayar
biaya kuliah? Menunggu berbulan-bulan untuk sekedar di wisuda?”
Pak Burhan dan Karso bertukar pandangan. Ia tidak sedikitpun berani
berakta-kata.
“Pak, apa tidak ada cara lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
jurnal ilmiah kita? Selain memaksakan pelajar untuk menulis jurnal ilmiah? Dan,
apa setelah mereka lulus dan menulis jurnal imiah, mereka akan mudah diterima
kerja? Apa mereka juga akan menulis lebih banyak jurnal ilmiah nantinya?”
Pak Karso melempar senyum pada Karin, ia menepuk pundak Karin, mencoba
menenangkannya. Pak Burhan semakin bingung, ia berusaha menutupi
ketidaktahuannya, mencoba ngeles dari
‘hujatan’ Karin.
“Betul kan pak apa yang saya
bilang.” Kata Karso, “Tidak semua generasi muda kita itu tidak peduli terhadap
pendidikan kita. Masih ada generasi muda yang berfikir jauh daripada apa yang
menurut kita merupakan ‘pemikiran kedepan’ atau progresif. Kadang kita, orang
tua, harus juga mendengarkan generasi muda. Toh
mereka nanti yang akan menggantikan kita merawat negeri kita ini.” Ujar Karso.
Depok, 18 Februari 2012
No comments:
Post a Comment