Ini lho anak saya yang baru datang dari Mesir. Kata pak Gatot. Ia
mempersilahkan si anak tadi duduk. Jadi pak Karso, anak saya ini lulusan
Universitas Kairo. Ia baru saja lulus dengan predikat cumlaude. Asal bapak
tahu, anak saya termasuk sepuluh besar lulusan terbaik di sana. Hebat kan pak? Karso
mengangguk-angguk. “Bu, ada tamu. Tolong buatkan minum.” Teriak Karso.
Apa kabar bu? Tanya pak Gatot. Ia melempar senyum kepada bu Karso.
“Baik pak. Ini to anak bapak yang
dari Mesir?”
“Lho iya.. Bagaimana menurut ibu? Hebat kan anak saya?” Jawab pak Gatot semangat. “Saya dengar anak ibu, Karin,
sudah masuk tahun terakhir pendidikan tingginya? Apa benar bu?” Ujar pak Gatot. “Seharusnya sekarang dia di
rumah kan, pak? Bu? Bukannya sudah masuk masa liburan?”
Bu Karso hanya tersenyum. Meletakkan tiga cangkir berisi teh di meja.
“Karin masih punya jam ngajar, jadi
ia belum bisa pulang. Insyaallah hari Kamis depan ia pulang. Ayo silahkan diminum,
pak Gatot.” Bu Karso mempersilahkan. “Saya ke dalam dulu.”
Hebat kau Karso. Memang dari dulu kau pandai memilih wanita. Hahaha.. O
iya. Sampai dimana pembicaraan kita tadi?
Pak Gatot seolah berpikir.
“Soal Karin?” Cetus Karso.
“Ya! Anakmu yang cantik itu. Apa sudah kau pikirkan masa depannya?
Maksudku, sudahkah ada calon pendampingnya? Suaminya.” Karso melirik anak pak
Gatot. ia menarik nafas panjang seraya meletakan cangkir di atas meja. Mngambil
posisi duduk yang lebih nyaman.
“Begini pak Gatot. Jaman sudah berkembang pesat, teknologi berpacu
melesat. Pendidikan dan pola pikir anak-anak kita jauh ketika kita masih muda
dulu.”
Dari duluu kau memang suka betele-tele Karso. Hahahaha.. Jaman sekarang
juga tidak suka bertele-tele bukan?
Karso diam sejenak. Ia menarik nafas lagi.
“Anak-anak sekarang sudah tidak berkenan disamakan dengan Siti Nurbaya.”
Kata Karso.
Pak Gatot tertawa lagi. “Sama saja dengan jaman kita dulu Karso. Kau juga
tidak mau dijodohkan waktu itu. Tapi akhirnya..??”
Karso melirik anak pak Gatot
lagi. “Karena itu aku tidak ingin hal ini terjadi pada anak-anakku.” Karso
menimpali.
“Nah, itu. Itu yang aku maksudkan. Kita sama-sama tidak mau. Kau tidak
mau, aku pun tak mau. Kau tentu
menegerti maksudku, Karso. Kau lihat anakku ini.” Ujar pak Gatot. ia menunjuk
anaknya dengan bangga. “Apa yang kurang?”
Bu Karso membawakan dua piring jajanan pasar. Meletakkannya dekat vas
bunga di atas meja. Ia melirik Karso dan anak pak Gatot.
Maaf pak Gatot, kata bu Karso, saya tadi mendengar pembicaraan bapak
dan suami saya. “Bagus itu. Jadi saya tidak usah menjelaskan lagi. Bukan begitu
Karso?” pak Gatot memotong. Bu Karso duduk di sebelah suaminya.
“Dimakan dulu pak. Mumpung masih hangat.” Bu Karso menyilahkan. “Ayo
nak, dimakan.”
Ini kita mimpi apa ya bu semalam? Koq pagi-pagi sudah ada yang nyasar. Karso
membisiki isterinya. “Ndak tahu pak, apa gara-gara tadi pas sholat subuh bapak
lupa tidak do’a kunut?”
Hussh. Ya nggak ada
hubungannya. Menurut ibu pak Gatot ini…
“Memang semuanya itu harus dirundingkan. Saya tidak mau memaksa ibu dan
bapak.” Pak Gatot memotong. “Tapi alangkah baiknya… jika tidak usah
diperdebatkan. Coba ibu lihat anak saya ini. Namanya Gilang Ramadhan. Apa ibu
tidak terkesan? Lulusan Mesir lho bu? Cumlaude lagi! Hebat nggak tuh?” Imbuhnya.
Karso dan isterinya hanya mengangguk. Dan dengan lemas berkata, “Iya..”
“Nah, begitu kan lebih enak. Ternyata tidak serumit melamar si Esti. Itu
lho bu, anaknya pak Herman, ketua RT 02.”
Karso dan isterinya terperanjat. “Maksud pak Gatot?”
Lho, tadi kalian kompak jawab “Iya..” Iya to? Koq masih tanya maksudnya
apa? “Tapi bukan itu yang saya maksud.” Sanggah bu Karso. “Iya tadi untuk
meng-iya-kan omongan pak Gatot. Jadi, soal Karin, nanti kami bicarakan lagi
sama anaknya.”
“Iya pak, sudah siang. Nanti kita terlambat.” Gilang merayu bapaknya. “Bapak
tidak mau terlambat kan?”
“Iya iya.. memang kalau ngobrol sama calon mertua itu menyenangkan ya. Sampai
lupa waktu.” Kata Gatot.
Pak Gatot dengan semangat melenggang. Gilang menyalami Karso dan
isterinya. Karso menggeleng-nggelengkan kepalanya.
“Sabar ya nak! Semoga Allah segera memberikan bapakmu kesembuhan. Kamu juga
harus sabar. Itu masih bapakmu. Jangan seperti ibumu, dengan teganya
meninggalkan kalian.” Ujar bu Karso seraya menepuk pundak Gilang.
“Aku nggak bisa ngebayangin
jika benar-benar jadi mertua dari seorang sahabatku sejak kecil.” Kata Karso. Mereka
bertiga diam sejenak. Lantas tertawa terkekeh-kekeh.
Depok, 19 Februari 2012
No comments:
Post a Comment