Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Liberalisme: Kebebasan Yang Terlepas
Di
dalam Ensiklopedi Britanica 2001 deluxe edition CD-ROM, kata
‘liberal’ diartikan sebagai falsafah
politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam
melindungi hak-hak warganya. Istilah liberal muncul dalam bahasa inggris pada
ke 14, dari bahasa latin Liberale
yang berarti class of free man, yaitu
salah satu kelas dari orang-orang merdeka atau mereka yang bisa dibedakan dari slave, bisa juga diartikan orang-orang
yang independen dari sisi ekonomi.
Liberalisme
lahir dari sistem kekuasaan politik dan sosial sebelum masa Revolusi Perancis –
merkantilisme, feodalisme, dan greja roman katolik. Dari sudut pandang
ideologis, liberalisme dapat dikategorikan sebagai turunan dari falsafah
humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman Renaissance dan juga
golongan Whings pada masa Revolusi Inggris – dengan cara memaksakan hak untuk
memilih raja dan membatasi kekuasaan raja – yang menentang sistem merkantilisme
dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpanderi.
Faham
liberal sendiri mengalamai perluasan makna sebagai ‘monster’ yang mencekik
golongan proletar sejak abad 18 hingga 19. Sebelumnya, liberal telah di kaitkan
dengan kebebasan dalam seni. Tidak salah jika kita mengenal Liberal Art yang memiliki independensi
tertentu – blue color atau label class – yang membedakan tingkatan
derajar seorang seniman. Mungkin juga kita pernah mendengar istilah Liberal Science yang identik dengan
kebebasan mencari ilmu pengetahuan alam seperti matematika, fisika, kimia,
biologi, seolah mampu menempatkan individu lebih tinggi daripada penguasa
ilmu-ilmu praktis.
Seiring
meluasnya revolusi golongan borjuis di Eropa – ditandai dengan munculnya borjuis public sphere abad 18, pemaknaan
faham liberal mengerucut pada konteks sosial-politik. Secara garis bersar ide
ini lahir dari kepala-kepala golongan borjuasi – tidak jarang mereka berasal
dari kalangan Aristokrat. Oleh karena itu, awal perkembangan liberal sanga
identik dengan apa yang open minded atau
progressive idea, serta diasosiasikan
kepada kelompok radikal atau kiri. Karena mendapat banyak dukungan dari
masyarakat kelas menengah ke atas, yang tentunya memiliki kedudukan ekonomi
tinggi, sehingga liberal mengalami penyempitan pemaknaan dengan sifat individual, confident pada dirinya
sendiri, dan dalam perkembagannya lebih dikenal dengan Liberalisme.
Pengaruh
sejarah memang sangat kentara dalam perkembangan makna ‘liberal’. Sejak abad ke
19, liberal ‘dipaksa’masuk ke dalam liberalisme yang berorientasi pada sifat possessive individualism. Hal ini
kemudian menjadi tolak ukur banyak negara-negara di belahan Eropa, Amerika, dan
Asia dalam menjalankan roda pemerintahan, politik dan sosial.
Dalam
pemikiran orang-orang Barat, liberalisme berpangkal pada prinsip dasar
keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara
hati, keyakinan, ucapan, politik, sex, dan kenyataan hidup lainnya. Pertanyaannya
adalah, sejauh mana kebebasan individu-individu tersebut terlepas? Apakah
‘kebebasan’ itu sendiri akan membawa kepada kebenaran?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita harus mundur dan menggali lagi paham dasar pemikiran
liberal yang bertumpu pada tiga pendapat yang sederhana – disuarakan oleh tiga
pemikir besar, Immanuel Kant, John Stuart Mill, dan Adam Smith. Pertama dari Kant, ia mengatakan bahwa
perkembangan manusia pada dasarnya dalah proses pendewasaan diri. Ketika
manusia itu sudah sampai pada titik otonom, sapere
aude, berfikir bebas sendiri, maka manusia itu sudah melampaui tahapan
mendewasakan diri. Kedua, Mill
berpendapat bahwa manusia yang rasional (yang berfikir) membutuhkan ruang agar
dia bisa menjadi manusia yang kreatif – hal yang tidak berhubungan erat dengan
pemikiran Kant. Menurut Mill, untuk menjadikan masyarakat yang konstruktif,
manusia harus dibebaskan sebebas-bebasnya – agar genus-genus masyarakat tumbuh
dan pemikiran mereka terkonstruksi. Namun, Mill juga memberikan sebuah
‘batasan’ dengan dalih supaya kebebasan manusia tidak terlepas kedalam belenggu
– sehingga manusia itu menjadi kehilangan akal sehatnya. Batasan tersebut
merupakan sebuah prinsip dasar yang dia sebut sebagai a very simple principle of liberty, kamu bebas sejauh kamu tidak
menganggu atau mengancam orang lain. Dalam era modern dikenal dengan istilah live and that live.
Ketiga, Adam
Smith. Ia mengemukakan bahwa manusia memiliki kepentingan masing-masing, tidak
ada manusia satu pun yang tidak berfikir tentang dirinya sendiri. Meskipun
Smith tidak menafikkan manusia sebagai makhluk sosial, ia tetap menerima
ketidaksempurnaan manusia. Kesimpulannya adalah, liberalisme saat ini tidak
berdasar pada prinsip dasar yang berakar pada kata ‘liberal’. Agaknya
penegasian liberalisme terhadap politik-sosial-ekonomi merupakan suatu
ke-sangsi-an yang terlepas dari pemaknaan liberal itu sendiri – karena sudah
terlepas dari prinsip dasar liberalisme.
***
-( 2 )-
Memahami (lagi) Kapitalisme
Kapitalisme
seringkali di identikkan dengan neo-liberalisme. Meskipun secara prinsip dasar
keduanya jauh berbeda. Bukan tidak mungkin ‘perkawinan’ antara dua pandangan
ini menjadi sangat langgeng di pemikiran modern. Secara etimologi, kapital
berasal dari bahasa latin ‘caput’ yang berarti ‘kepala’. Memang hal sngat
kohern jika kita membandingkan beberapa istilah yang berhubungan dengan kata
capital. Sebagai contoh ‘pendapatan per kapita’ dan ‘capital city’.
Terdapat
banyak definisi formal tentang kapitalisme. Salah satunya mengatakan bahwa
kapitalisme berarti sistem ekonomi dimana barang dan jasa dijual-belikan di
pasar dan barang modal adalah milik entitas-entitas non-negara dari unit
terkecil hingga global. Milton Friedman - salah seorang proponen utama
kapitalisme modern – merumuskan tiga faktor utama sistem kapitalisme: pasar bebas, kebebasan individual, dan demokrasi.
Pada
dasarnya, prinsip kerja kapitalisme yang mendorong secara optimal pencapaian
maksimal terhadap komoditas pasar. Hal ini tidak mengherankan karena konteks
kapitalisme sendiri selalu diarahkan ke ranah ekonomi. Akibatnya, seorang
individu maupun kelompok dipaksa sepenuhnya menempatkan diri sebagai homo
economicus yang semata-mata digerakkan oleh rasionalitas instrumental
pencapaian laba dan penghimpunan materi sebanyak-banyaknya. Dengan demikian
terbentuklah individu-individu sebagai mahkluk yang serakah dan berorientasi
‘memeras’ individu lainnya – yang dipelihara dan disuburkan oleh sistem
kapitalisme itu sendiri.
Menggunakan
sudut pandang lain, kapitalisme memiliki kekuatan besar dalam memberdayakan
suatu negara, tapi mengorbankan golongan bawah dan ‘negara tetangga’. Karena
berbasis pada sistem ekonomi, kapitalisme – di suatu negara – dengan mudah
mencampuri sistem politik,, sosial, dan budaya. Keadaan inilah yang memicu
penafsiran kapitalisme menjadi sebuah ‘kejahatan’. Setidaknya ada tiga jenis
kejahatan fungsional kapitalisme. Pertama,
The Crime of Acomodation, yaitu kejahatan yang timbul sebagai respon pelaku
terhadap dorongan maksimum konsumsi (konsumerisme). Kedua, The of Economic Domination, merupakan kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku bisnis yang dapat berupa penipuan pajak, eksploitasi
buruh, penyimpangan kontrak karya, dan sebagainya. Ketiga, The Crime of Government, yaitu penyalahgunaan wewenang
birokrasi, kolusi, korupsi, nepotisme, dan sebagainya.
***
-( 3 )-
Gandhi, India, dan Manusia
Seringkali
filsafat India digegasikan dengan Gandhi dan ajaran-ajarannya. Padahal,
filsafat India sudah berkembang jauh sebelum masa Gandhi. Secara garis besar,
filsafat India sangat lekat dengan masalah keagamaan, etika/moral, dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak
keselamatan di akhirat. Periodesasi perkembangan filsafat India sendiri terbagi
kedalam beberapa masa. Antara lain zaman Weda (2000 – 600 SM), zaman
Skeptisisme (600 SM – 300 SM), zaman Puranis ( 300 SM – 1200 M), zaman Muslim
(1200 – 1757 M), dan zaman Modern (1757 M).
Masa
perkembangan filsafat India yang paling berpengaruh – menurut penulis – adalah zaman
Skeptisisme dan zaman Muslim. keduanya merupakan titik pencerahan yang
terakumulasi menjadi sebuah faham baru yang dipopulerkan oleh Gandhi. Jadi
tidak salah jika Gandhi, India, dan filsafat India memang selalu bergaung –
dalam ranah filsafat modern. Pada masa Skeptisisme India, manusia ditarik masuk
kedalam kehidupan religius yang ketat dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan
universal. Ajaran yang kemudian terkenal dengan sebutan Buddhisme – yang
diajarkan oleh Gautama Buddha. Ajaran ini memberikan pedoman praktis untuk
mencapai keselamatan dan mengajarkan secara nyata bagaimana manusia dapat
mengurangi penderitaannya dan bagaimana ia mencapai terang budi yang membawa keselamatan.
Kedua
adalah masa Muslim yang dimulai sekitar abad 13. Salah satu tokoh yang terkenal
pada masa ini adalah Kabir. Ajarannya tidak jauh berbeda dengan Buddhisme –
dalam hal nilai-nilai kehidupan. Perbedaan besar terletak pada peletakkan
posisi Tuhan dan ajaran-ajaran ke-Tuhan-an (tauhid). Namun hal ini tidak
mengurangi kebebsan beragama antar pemeluk agama lainnya. Berawal dari
‘benturan’ inilah, periode filsafat India modern (1757) berkembang dengan
pengaruh yang kental dari agama Buddha, Hindu, dan Islam.
Pada
masa modern, filsafat India mulai kembali menggali nilai-nilai klasik yang di
barengi perubahan sosial. Tentunya hal ini tidak terlapas dari pengaruh
penjajah, bangsa Inggris, sehingga melahirkan tokoh dunia sekaliber Gandhi –
yang sejalan dengan pemikiran Ram Mohan Roy – sehingga Gandhi sendiri tidak
bisa terlepas dari peng-kasta-an status sosial masyarakat India.
Daftar
Rujukan:
Prasetyo,
Eko. 2006. Kapitalisme dan Neoliberalisme
http://al-manar.web.id/bahan/8.%20EKONOMI%20POLITIK/2.%20Kapitalisme%20&%20Neoliberalisme.pdf (diakses 2 Desember 2011)
Noer
Fauzi Rahman. 2008. Menyegarkan Pemahaman
Mengenai Kapitalisme Indonesia. http://www.elsam.or.id/downloads/1320201571_Kapitalisme_Indonesia_(_Noer_Fauzi_).pdf (diakses 2 Desember 2011)
Marzuki,
Suparman. 2008. Kapitalisme, Keserakahan,
dan Kejahatan. http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_kapitalisme.pdf (diakses 2 Desember 2011)
Miswanto.
Kumpulan Materi Darcana. http://romonadha.files.wordpress.com/2011/10/darsana-baru.pdf (diakses 2 Desember 2011)
Budi
Setiawan. 2010. Sejarah Perkembangan
Pemikiran Filsafat : Suatu Pengantar
Kearah Filsafat ilmu http://fpk.unair.ac.id/webo/kuliah-pdf/KUL_FIL_01_FPK.pdf (diakses 2 Desember 2011)
No comments:
Post a Comment