Oleh, Oejank Indro
Mendengar
kata seniman, sering terlintas bahwa orang tersebut adalah penghasil poduk
kesenian. Seni yang bagaimana? Hal itu yang sulit untuk dijawab. Membicarakan
seniman dalam perspektif filosofis bukanlah hal mudah. Karena hal ini mendekati
secara langsung ruang pribadi seniman, dan seniman itu beranekaragam dan
jumlahnya sangat banyak. Disadari atau tidak, dunia memang penuh dengan
seniman. Seorang anak berusia sepuluh tahun mampu melukis mawar, lalu lukisan
itu memberikan kenikmatan bagi orang yang melihat, dan seketika itu orang
menganggap karya itu hasil dari seorang seniman. Apa benar demikian? Jika
benar, bukankah seorang perancang pakaian, arsitek, pendongeng, politikus, hingga
tukang cat keliling, memiliki keahlian berkesenian. Dalam artian menghasilkan
produk seni dengan nilai estetik tertentu – dengan penikmat estetika
masing-masing. Sampai disini, apakah seniman itu yang ada dalam benak Anda?
Secara
sadar dan tidak sadar, setiap hari kita selalu berinteraksi dengan hasil
aktifitas berseni. Mulai dari sikat gigi, bak mandi, piring, lemari, kunci,
sampai pada hubungan suami isteri. Nah,
bisakah kita mengatakan itu semua adalah hasil seorang seniman? Atau hanya
produk komersil dengan beberapa inovasi yang bertujuan meningkatkan keuntungan
individu dan kelompok tertentu saja? Jika demikian, apa bedanya seniman dan bisnisman?
Dasar
pembeda antara seniman dan bukan seniman dalam pandangan Sujiwotejo, adalah
pandangan seniman itu sendiri. Seorang dapat berpikir berbeda dengan
masyarakatnya. Artinya, jika masyarakat memandang bahwa lukisan Lucien Freud –
berjudul Nu Couche De Dos – itu
vulgar dan tidak indah, lantas seniman juga berpandangan sama, mengapa lukisan
tersebut memiliki nilai jual yang tinggi? Kenyataannya, seniman tersebut tidak
memperkaya apa-apa.
Kekhawatiran
dunia seni terhadap nilai-nilai etis sebuah penghadiran karya seni sering
diperbincangkan. Disini posisi seorang seniman terhadap karya seninya dilempar
ke masyarakat untuk dinilai dari berbagai sudut pandang. Misalnya, ketika kasus
kelaparan dan kekeringan masih banyak di sebuah daerah, lalu seorang seniman
menampilkan aksi dengan media puluhan telur dan berliter air bersih, keindahan
yang dihasilkan tentu bertolak dengan realistas sosial – yang dekat dari
seniman itu sendiri. Kasus lain ketika seorang penari melakukan aksi berbahaya
dan mati saat beraksi, apakah ini bisa dikatakan etis? Jika hanya untuk
menyakiti diri sendiri, prioritas etis atau estetis yang menjadi unsur
apresiasi oleh masyarakat?
Jadi,
seniman dalam artian khusus memiliki caranya sendiri dalam berkesenian – tentu
saja ‘seni’ yang dihadirkannya berdampak pada tatanan sosial masyarakat.
Seperti kisah yang dihidupkan Franco Rabelais melalui tokoh Gargantua dan
Panteugral yang memberikan motivasi besar masyarakat Prancis waktu itu untuk
bangkit. Atau tokoh Punakawan yang membekas dan menyalurkan nilai-nilai sosial
hingga saat ini di Indonesia. Seniman itu, dalam artian luas, bisa dikatakan
penyeimbang dan pengatur irama kehidupan manusia – yang selalu rindu akan
keindahan – dalam bermasyarakat.
No comments:
Post a Comment