Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Sosialisme
Istilah
‘sosialisme’ selalu identik dengan Karl Marx. Padahal cita-cita sosialisme
sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Euhemeros
dan Jambulos (sekitar abad ke-5 SM) mendeskripsikan sebuah ‘negara matahari’
dimana segala-galanya – termasuk para isteri – dimiliki bersama. Hal ini
kemudian menjadi dasar cerita ilmiah yang di utarakan Marx dan Engels. Jika
kita mengacu pada terminology ‘sosialisme’, kata ‘sosialisme’ muncul di Prancis
pada tahun 1830, begitu juga istilah ‘komunisme’. Pada awalnya dua kata
tersebut memiliki penafsiran yang sama, tetapi komunisme menjelma sebagai paham
radikal dari sosialisme – menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan
kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan
pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Frans.
2003:20).
Tradisi
pemikiran tentang sosialisme sendiri bisa dikatakan cukup panjang dan identik
dengan kaum buruh. Berbeda dengan konsep konservatif dan liberal, konsep
pemikiran sosialisme ini bertumpu pada kesadaran dan kebersamaan. Herman Dunker
mengatakan bahwa sejarah sosialisme dimulai bersamaan dengan sejararah umat
manusia – meskipun sebagian filsuf berpendapat faham ini dicetuskan di Prancis
dan Inggris. Namun, perkembangan paham ini mendapat tempat di Jerman. Pernyataan
tentang prinsip-prinsip dari kaum sosialis internasional adalah , “Tidak ada sosialisme tanpa kebebasan.
Sosialisme hanya bisa direalisasikan
lewat demokrasi, dan demokrasi hanya bisa terampungkan oleh sosialisme.”
Dari prinsip dasar tersebut – dan pemahaman tentang ‘kebebasan’, sosialisme
yang demokratis secara jelas membedakan dirinya dengan rezim-rezim totaliter, terutama
dari apa yang dinamakan dengan demokrasi-demokrasi rakyat dari blok timur.
Bentuk-bentuk
paham sosialisme merupakan cerminan dari tokoh dan manusia yang terlibat saat
itu – utopis, marxis, fabianis, dan sebagainya. Dalam pandangan penulis,
memahami sosialisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan terbatas pada
pertimbangan-pertimbangan moral semata. Dengan kata lain, menyederhanakan
pendangan bahwa sosialisme itu baik dan kapitalisme itu jahat – berdasarkan
orientasi prinsip dasar manusia dan syarat-syarat objektif hokum-hukum
ditengah-tengah mereka.
***
-( 2 )-
Fundamentalisme
Memahami
antara ‘fundamentalisme’ dan ‘radikalisme’ merupakan hal yang tidak mudah .
Kedua istilah tersebut memiliki prinsip dasar yang – seolah-olah – sama, yaitu
sama-sama ingin memperjuangkan apa yang ia yakini secara radikal dan menolak
paham-paham lainnya yang bertentangan. Agaknya istilah ‘fundamentalisme’ di
Indonesia dapat diidentikkan dengan terorisme. Aksi teror bisa jadi merupakan
‘ekspresi’ dari golongan fundamentalis yang membenarkan aksi kekerasan atas
nama agama. Paham ini memang tidak dapat dijauhkan dari kepercayaan dan
ke-Tuhan-an. Tidak jarang aktivitas penganut paham ini menimbulkan keresahan
terhadap golongan lainnya – liberalis, sosialis, dan kapitalis.
Perkembangan paham fundamentalis
sejatinya beriringan dengan perkembangan agama-agama itu sendiri. Beberapa
faktor dapat memicu ‘pembenaran’ kekerasan dan tindakan anarkis atas nama
agama. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam
fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi
kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana
tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan.
Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak
kontradiksi terutamamenyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang
selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan.
Kedua,
adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik
dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu.
Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos
dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya
seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan
etis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan
di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga.
Ketiga,
fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan
agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan
antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan
legitimasi dari agama.
Mengenai peran agama, sebenarnya
terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi
para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni; (a) fanatisme dan,
(b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang
seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem
tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama
tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka,
selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini
orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk.
Agama bisa saja akhirnya hanya
menjadi sekedar ritual; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan
kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang
berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain.
Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas
nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran)
yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut
agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika
ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung
melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok
lainnya.
***
-( 3 )-
Feminisme
Dalam pemahaman
penulis, feminisme merupakan pemikiran yang sia-sia. Kenapa? Karena tokoh
feminis sendiri tidak mengetahui parameter ‘adil’ dan ‘sama’ sebagai dasar
mereka menuntut persamaan gender. Bahkan dalam kilas balik sejarah, tokoh
seperti Lady Mary Wortley Montagu dan
Marquis de Condorcet belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka
berpandangan bahwa perempuan itu seringkali dirugikan dan menjadi ‘manusia
kedua’ di muka bumi. Sayangnya, jika dihadapkan pada persoalan dasar tentang
kebutuhan wanita, pengikut paham feminisme ini terdiam dan tidak mau mengakui
bahwa mereka berbeda – dan memang harus dibedakan.
Dari berbgai
sumber yang diolah penulis, penulis menemukan bahwa ada beragam mazhab
feminisme dengan latar belakang dan perspektif berbeda. Hal ini menarik, karena
feminis mulai menyadari kelemahan dasar paham ini. Namun, hal ini berdampak
pada lahirnya bub-aliran di tubuh femisme itu sendiri. seperti feminisme radikal,
feminisme liberal, dan feminis sosialis. Masing-masing dari mazhab tersebut
memiliki pendekatan dan strategi dalam melegitimasi ketidakadilan gender.
Keadan inilah yang menjadikan feminisme merupakan sebuah paradigma ‘open
source’, responsif, dan non-dogmatis.
***
-( 4 )-
R. A. Kartini
RA. Kartini umumnya disebut-sebut
sebagai salah seorang di antara tokohtokoh terkemuka wanita feminis dari
zamannya, dan ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal.
Kartini (1879-1904) adalah anak kedua (wanita) dari Bupati Jepara, sebuah
daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya
mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama
dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan
memasuki “jaman baru”. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya,
21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya
kaum wanita di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau angkatan
bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang
telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai
“Pahlawan Nasional”. Dalam kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga
diakui oleh bangsa-bangsa lain
Secara nyata,
perjuangan Kartini merupakan perjuangan yang halus dan berbudi luhur.
Penentangan yang ia lakukan terbungkus dengan rapi di dalam surat-surat dan
prestasinya pada masa penjajahan belanda. Karena status darah biru-nya, Kartini
dengan mudah mendapatkan akses untuk melakukan ‘diplomasi kecil’ kepada
penjajah dan perlahan menempuh jalan kemanusiaan untuk memperjuangkan hak-hak
kaum perempuan Indonesia.
___________
Daftar Rujukan:
Akhyar. 2008. Fundamentalisme Dalam
Agama Islam Dan Kristen. http://www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/073_Akhyar%20Artikel%20Fundamentalisme%20Agama.pdf
diakses 10 Desember 2011.
Fuad, Nur Ahmad. 2011. Interrelasi
Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer: Survei
Pendahuluan. http://blog.sunan-ampel.ac.id/nurfuad/files/2011/04/interelasi-ideologi-gerakan-islam-kontemporer.pdf.
diakses 10 Desember 2011.
Frans
Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.14-20.
Suharto, Edi.
2007. Teori Femnis Dan Pekerjaan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf
diakses 9 Desember 2011.
Suraji. 2006. Kesetaraan Gender Di Indonesia Ditinjau Dari
Teori-Konsep Dan Pendekatan Sosiologi Hukum.
http://pa-wonogirikab.go.id/static/file/Makalah_Suraji.pdf diakses
10 Desember 2011.
No comments:
Post a Comment