Monday, September 9, 2013

TUBUH SEBAGAI UNGKAPAN BHAKTI



Analisis Karya Lukis Nasirun Menggunkan Teori Semiotik C.S. Peirce


Pendahuluan
Religiusitas seorang manusia memang memiliki implikasi yang kental terhadap khazanah imajinasi dan kreatifitasnya. Aspek ‘ke-Tuhan-an’ membuat seseorang melepas batas antar-manusia dan menembus ruang iman, sehingga ia menemukan cara yang nyaman untuk berinteraksi dan menikmati kedekatan dan bhakti dengan Tuhan. Ekspresi mendekatkan diri tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai media dengan menggunakan beragam citra, teks, bunyi-bunyian, dan tubuh. Citra seputar tubuh sering digunakan dalam karya seniman untuk mengungkapkan emosi, pesan, hingga moralitas. Oleh karena itu, tubuh dapat dikatakan sebagai sebuah sistem simbol. Ungkapan tersebut dijelaskan oleh Mary Douglas (1966) dalam buku “Purity and Danger”. Tahun 1970, melalui karyanya “Natural Symbol”, Douglas kemudian mengembangkan sistem simbol (tubuh) menjadi dua bagian; the self (individual body) dan the society (the body politics). (Cahyana, 2009: 18)

Penjabaran the body politics menyasar pada bagaimana pembentukan tubuh secara fisik dirasakan. Artinya, fisik tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah di ketahui – berdasarkan pandangan masyarakat. Mike Featherstone (1992) mengemukakan dua kategori kelompok pembentukan tubuh; tubuh dalam dan tubuh luar. Tubuh dalam menitikberatkan pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan. Skema biologis sangat kental pada kategori ini, dan tubuh dipandang dalam aspek alamiah. Sedangkan tubuh luar diterjemahkan sebagai aktivitas tubuh terhadap hubungannya dengan ruang sosial. Kategori ini melibatkan dimensi estetik dan nilai-nilai moral. (Fearherstone, 1992: 18).

Berdasarkan pandangan Featherstone di atas, tubuh luar manusia dapat mengekspresikan kepribadian di dalam ruang sosial – yang mencakup budaya dan struktur koginisi masyarakat. Hal ini dapat diungkapkan melalui cara komunikasi manusia dengan memperhatikan gestur tubuh. Cara komunikasi tersebut tidak hanya dilakukan antar-manusia semata, hal tersebut juga berlaku ketika manusia berinteraksi dengan Tuhan. Menurut Goerge Boeree (2008), dalam Cahyana (2009), gestur-gestur tersebut kemudian diinternalisasi oleh beberapa seniman sebagai ungkapan – dengan nilai-nilai – ibadah kepada Tuhan. Selain dapat merepresentasikan aspek hubungan dengan Tuhan, gestur juga merepresentasikan hasil kebudayaan sebuah masyarakat. Istilah ini sering disebut body language.

Seniman sering menggunakan tubuh sebagai bahan ekspresi atas kehadiran karya seni. Karya patung dari masa Arkaik Yunani, Spinx di Mesir, hingga gambar-gambar manusia purba di dinding-dinging gua. Pada karya lukis, kita menemukan Picasso dengan penggambaran peremupan dalam gaya kubistik, Frida Kahlo yang melukiskan tubuh dengan perangkap besi, dan Affandi yang dengan spontan menghadirkan keindahan tubuh. Dengan demikian, tubuh merupakan media komunikasi yang cukup favorit bagi seniman. Baik dalam segi keindahan visual ataupun ungkapan makna dari ‘tubuh’  itu sendiri. Seorang pelukis Indonesia yang mengolah tubuh dan hasrat kebudayaan dalam sebuah karya lukis adalah Nasirun. Meskipun ia tidak melulu terobsesi akan tubuh, ia menjadikan tubuh dan kognisi budayanya sebagai media untuk mengungkapkan ‘rasa bhakti’  terhadap Tuhan. Hal itu dapat dilihat melalui lukisannya dalam pameran bertajuk Salam Bhekti tahun 2009. Pada pameran tersebut, beberapa lukisan Nasirun memiliki tema ‘ketuhanan’  yang ia sederhakan dengan istilah ‘salam bhekti’. Seperti tertuang pada karyanya, Sembahyang (2009), Kia Narsisrun (2009), Jagad Bumi (2009), Ngilo (2009), Mengheningkan Cipta (2009), dan Salam Bhekti (2009).

Atas dasar tersebut, Penulis tertarik untuk menganlisa keenam karya tersebut. Relevansi kerohanian dan kentalnya unsur budaya secara kasat terlihat dari beberapa lukisan tersebut. Namun, lebih lanjut jika dianalisa menggunakan teori semiotik dari C.S Pierce, karya tersebut akan memberikan pandangan baru yang dalam dan indah. Hal ini berkaiatan dengan sosok Nasirun yang dikenal sosok seniman bersahaja dan sederhana, selalu mengatasnamakan ‘dzikir’ dalam hal berkesenian. Ekspresi ‘dekat dengan Tuhan’ tersebut menjadi modal utama dalam berkarya. Bagi Nasirun, berkarya lebih mirip sebagai cara beribadah. Ia dengan sadar mengakui Islam dan Jawa sangat kental dalam dirinya. Proses kreatif Nasirun “menyadap getah mitologi yang kemudian diolahnya menjadi kekayaan lokal, tetapi bernilai universal.” Tidak mengherankan jika Nasirun hadir dengan simbol-simbol dan fitur Jawa dan Islam, tidak lupa sosok wayang yang disajikan kembali dengan memuat nilai modern. Prosesnya sederhana, tapi kedalaman nilai dapat ditemukan. Hal ini – mungkin – disebabkan start awal Nasirun yang mengusung tradisi dan mitologi ke ranah kontemporer melalui proses interpretasi secara konsisten, segingga kedalaman nilai karyanya dapat dinikmati dan ditemukan (rasa).

Teori Semiotik C.S. Peirce

Dasar istilah semiotik yang diungkapkan Pierce pada akhir abad XIX adalah konsep tentang tanda itu sendiri. Pierce menggunakan Tanda dan denotatumnya dan fokus pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.Konsep semiotik ini memiliki skema bentuk dasar segitiga (triadic) dengan cabang di ketiga sudutnya (trichotomy). Skema ini digunakan untuk menganalisa objek visual. 

Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent ssomething else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...