Monday, September 9, 2013

PENYAJIAN INFORMASI DI MUSEUM


Penyajian informasi pada dasarnya tebagi menjadi dua bentuk utama, lisan dan tulisan. Penjabaran yang mudah untuk memahami konsep penyajian informasi dapat dilihat dari sifat multidisipliner ilmu informasi. Uraian dari Putu Laxman Pendit (2006), menyebutkan beberapa aspek dalam ilmu informasi: teori informasi, informetrika dan bilbliometrika, information retrieval, sistem informasi, teori kognitif, perilaku informasi, masyarakat informasi, dan kebijakan informasi. Dari delapan aspek tersebut, layanan informasi sangat dipengaruhi oleh sistem informasi, perilaku informasi, masyarakat informasi, dan kebijakan informasi. 

Sistem informasi merupakan aspek terpenting dalam layanan informasi. Information Richness Theory (IRT) yang dikemukakan Daft dan Lengel (1986) menjelaskan bahwa organisasi perlu menggelola informasi. Persoalan yang selalu dihadapi organisasi dalam kaitannya dengan informasi adalah ketidakpastian (uncertainty) dan ketidakjelasan (equivocality).  

Jauh sebelum Daft dan Lengel mengemukakan IRT, pembahasan layanan informasi sudah diperbincangkan di kalangan pekerja ilmiah. Tepatnya ketika diselenggarakannya Royal Scientific Conference pada tahun 1948 di Inggris. Studi tentang penyajian informasi di London Science Museum Library adalah salah contohnya. Studi tersebut didahului oleh serangkaian studi tentang perilaku informasi. 

Keterkaitan aspek informasi dan penyajian informasi memang seringkali muncul diantara lembaga informasi dan setiap organisasi. Permasalahan  yang biasanya muncul adalah Uncertinty dan equivocality. Salah satu lembaga informasi yang sedang mengalami persoalan tersebut adalah museum. Museum seringkali kesulitan dalam proses penyajian informasi yang sebabkan oleh material koleksi. Umumnya, material koleksi museum adalah benda-benda yang bersifat lampau dan dibuat pada waktu, situasi, serta pada masyarakat dengan struktur kognisi yang berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang. 

Kondisi demikian digambarkan oleh Dervin (1992) dalam model “Sense Making” yang terdiri dari empat elemen dasar yang terdiri atas; situation, cognitive gap, outcome, cognitive bridge. (Dervin, 1992:28) Persoalan ketidakjelasan informasi (information equivocality) biasanya muncul ketika pengguna/pengunjung museum berhadapan dengan material museum (seni, sejarah, dan sains). Penggambaran Dervin tentang cognitive gap didasari faktor ruang dan waktu, sehingga proses penyebaran informasi terganggu (noise). Hal ini kemudian menjadi fenomena yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari museum supaya penyajian informasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...