Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Multikulturalisme
Multikulturalisme, di dalamnya
mengandung dua kata yang bermakna kompleks, yaitu ‘multi’ yang berarti plural,
dan ‘kulturalisme’ yang berisi pengertian tentang budaya. Plural memiliki
berbagai jenis pengertian karena mempunyai implikasi politis, sosial, dan
ekonomi. Sedangkan budaya merupakan hasil dari interaksi manusia yang
berlangsung selama manusia hidup di suatu tempat – baik dalam komunitas,
kelompok, ataupun masyarakat. Multikulturalisme juga memiliki kaitan erat degan
epistemologi. Namun, disini epistemologi multikulturalisme berbeda dengan
epistemologi pada filsafat – sebagai asal usul ilmu pengetahuan – dan filsafat
sosiologi – yang bertitik pada kehidupan sosial.
Sebagai seorang manusia yang tinggal dan
lahir di negara multikultur, penulis memosisikan diri tidak hanya terbatas pada
keanekaraman etnis di dalam negeri. Lebih lanjut, multikulturalisme sejatinya
tidak membatasi ‘teritori’ variabel pada sebuah negara semata. Di Indonesia, menurut
penulis, seringkali multikulturalisme dikecilkan dalam pemaknaan sebagai
keanekaraman budaya secara lokal – yang meliputi suku, etnis, dan budaya itu
sendiri. Akibatnya, pemaknaan seputar multikulturalisme cenderung dikaitkan
dengan budaya ‘tetangga sebelah’.
Terbentuknya pola pikir yang demikian
dominan di tengah masyarakat Indonesia, agaknya mengerdilkan luasan makna
multikulturalisme yang ditawarkan Charles Taylor dan John Rawls. Bahkan
pemikiran tokoh pluralis yang jenaka seperti Gus Dur pun belum mampu diserap
oleh masyarakat luas. Dalam hemat penulis, multikulturalisme mendapatkan tempat
‘kecil’ di Indonesia. Berbeda dengan pemahaman filsafat multikultur yang
berkembang di belahan Eropa.
Multikulturalisme tidak selamanya
memiliki ‘posisi’ baik dalam kehidupan. Salah satu bahaya yang tersimpan dalam
paham ini adalah lahir dan berkembangnya paham fanatisme budaya. Apabila paham
fanatisme ini dibiarkan tetap berkembang, maka seluruh kebudayaan akan
mempertentangkan budaya satu dan lainnya – biasanya berujung pada konflik
lintas budaya. Namun, jika digarap dengan baik dan dirawat dengan baik, kultur
yang beranekaragam tersebut akan menjadi kekuatan besar bagi suatu bangsa.
Gandhi mampu menularkan ajarannya ke seluruh India dan penjuru dunia juga tidak
terlepas karena ia memanfaatkan budaya sebagai kekuatan utamanya.
***
-( 2 )-
Filsafat
China : Konfusius
Pada buku yang berjudul Konhucu: Penata Kebudayaan Langit,
Raymond Dawson menuliskan inti pemikiran konfusius terpadu dalam sebuah sistem
sosial, etika, dan intelektual. Ketika unsur tersebut memang menjadi bahan
wajib bagi Konfusius dalam menyebarkan ajarannya. Konfusius sendiri menitik
beratkan ajarannya pada ranah pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari sebuah
Kitab Analect/Bunga Rampai 7.2, “secara
diam-diam kukumpulkan ilmu pengetahuan. Aku belajar dan tidak pernah bosan. Aku
mengajar orang lain dan tidak pernah jemu – karena hal-hal seperti ini muncul
secara alami pada diriku.” (Dowson. 1999:14).
Nilai
sosial, etika/moral, dan intelektual yang diusung Konfusius hampir mirip dengan
apa yang diajarkan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sing tulodho, ing madya mangun
karsa, dan tut wuri handayani.
Dalam hemat penulis, kedua tokoh ini berhasil membangun citra manusia sejati
melalui pendidikan.
Konfusius
lahir ditengah-tengah anarki sosial dan intelektual. Menurut konfusius,
kekacauan dan anarki bukanlah hakikat masyarakat dan peradaban. Ajarannya
adalah untuk memlihara pranata sosial dan kultural, serta kembali kepada li (tata karma/etiket/budi pekerti). Terdapat
beberapa versi tentang ajaran Konfusius. Ada yang menyebutkan terdapat lima
pokok ajaran dan ada pula yang mengatakan enam pokok ajaran. Ke enam ajaran
tersebut adalah li (tata
karma/etiket/budi pekerti), Tao (jalan/cara),
Jen (perikemanusiaan), Chun Tzu (manusia bijak), Cheng Ming (penyesuaian nama), Hsiao (bakti anak). Dari keenam ajaran
tersebut, inti ajaran Konfisius adalah Tao,
jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan. Dengan kehidupan yang baik, manusia
menjadikan Tao itu luhur dan mulia.
Karena
lahir pada kondisi yang kacau dan menekankan pada ranah pendidikan, ajaran
Konfusius, menurut penulis, terlalu ‘elegan’ dan seolah ‘terbelenggu’ dalam
satu fenomena, pendidikan. Hal inilah yang menjadi awal terpecahnya ajaran ini
ketika diteruskan oleh Mensius dan Xun Zi. Menxius seorang yang idealis
sedangkan Xun Zi seorang realis – karena ia eksponen ajaran Konfusius dan
pengkritik Mensius. Xun sendiri berpandangan bahwa kodrat manusia itu pada
dasarnya jelek. Dia menempatkan fungsi dan hak istimewa negara di tempat amat
tinggi, seperti yang dilakukan kaum Legalis, sehingga Xun tidak begitu
dihormati di kalangan penganut Konfusianis.
Secara
garis besar, filsafat China sejak zaman klasik (600-200 SM) – meliputi
Konfusianisme, Taoisme, Mohisme, Legalisme, Ying Yang – melalui zaman
Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), Neo-Konfusianisme (1000 – 1900),
dan zaman modern (1900-sekarang), filsafat China memiliki tiga tema besar, yang
menurut penulis, sebagai pokok pandangan filsafat China. Pertama, harmoni, antara
manusia dan sesame, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga,
menjauhkan extrimisme dan mengagungkan perdamaian bersama.
Kedua, toleransi, terbukanya
sikap menghargai budaya dan pikiran. Hal ini terwujud dari sikap pluriformitas
budaya China – contohnya adalah dalam hal berdagang dan berguru. Ketiga, kemanusiaan, filsafat
China memusatkan perhatian pada manusia. Karenanya, manusia mengejar
kebahagiaan di dunia dengan mengembangkan diri dalam interaksi dengan alam dan
sesama.
***
-( 3 )-
Filsafat Jepang
Hal yang menjadi salah satu ciri
orang Jepang dalam berfikir adalah membenarkan apa adanya dunia ini. Maksudnya,
bagi orang Jepang dunia fenomena (dunia gejala) yang eksis dalam berbagai ragam
gejala, dipandang sebagai sesuatu yang mutlak apa adanya. Bahkan mereka
cenderung menolak cara berpikir yang memandang, bahwa sesuatu yang mutlak tersebut
berada di tempat yang jauh atau terpisah dari dunia gejala. Dengan demikian,
salah satu ciri dalam cara berpikir orang Jepang menampakkan tidak adanya
sesuatu yangdisembunyikan dari manusia. Dunia fenomena bagi orang Jepang,
adalah mutlak dunia apa adanya, sehingga segala apa yang ada di dunia nyata,
seperti: pohon, rumput, sungai, gunung, bunga, dan lain-lainnya dipandang
sebagai perwujudan dari Bussho (sifat Budha).
Selain Bussho, Jepang juga menjunjung tinggai berberapa falsafah hidup
sebagai filosofi, yaitu: semnagat Bushido,
disiplin samurai, budaya keisan, prinsip kai-zen, dan prinsip keiretsu-zaibatsu.
Semua nilai tersebut, menurut hemat penulis, merupakan pondasi dasar Jepang
selepas kekalahan di Perang Dunia II. Hanya dalam kurun empat puluh tahun
Jepang mampu bangkit dan menjadi negara Asia yang memiliki perekonomian kuat
dan berpengaruh di dunia.
Secara jelas, filsafat Jepang tidak
bertolak belakang dengan filsafat China. Terdapat beberapa ajaran – agama
Buddha – yang memang kental dengan kehidupa orang Jepang. Hal ini dapat kita
lihat dari Genseshugi (paham
keduniawian), Ajio (cinta kasih), dan
pengakuan mereka terhdap tabiat manusia yang alami. Kesadaran inilah, menurut
penulis, yang menguatkan orang Jepang meskipun hidup dalam ‘goncangan’ bumi
berintensitas tinggi.
Melalui film The Last Samurai, masyarakat dunia juga disuguhi – dan di ajarkan –
semangat Bushido-Samurai yang identik dengan kedisiplinan, kehormatan, pantang
menyerah, dan menghargai sesama manusia. Namun, semangat ini tidak hanya
memiliki dampak positif semata. Kehormatan yang menjadi salah satu sifat utama
seorang Samuari juga tersalurkan ke dalam kehidupan masyarakat Jepang secara
eksklusif. Akibatnya, angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi di bandingkan
negara-negara lain di Asia. Hal ini dikarenakan keyakinan dan keteguhan menjaga
kehormatan keluarganya.
-( 4 )-
Tan Malaka
Sejarah
mencatat banyak seputar perjalanan dan pemikiran sosok Sutan Ibrahim Datuk Tan
Malaka. Tulisan pertamanya yang berjudul Parlemen
atau Soviet merupakan titik awal kemunculan karya beliau yang lainnya – antara
lain Naar De Republic Indonesia
(Menuju Republik Indonesia) tahun 1925 dan Madilog pada tahun 1943. Memahami
Tan Malaka, menurut penulis, berarti memahami karya tulis beliau. Sebelum
Indonesia merdeka, esensi pemikiran Tan Malaka terpusat pada tujuan bagaimana
memerdekakan bangsanya sekaligus seluruh tatanan ekonomi, sosial, politik, dan
budaya. Jauh hari sebelum Sukarno menulis Indonesia
Menggugat tahun 1932 dan Kearah
Indonesia Merdeka Hatta tahun 1930, karya Tan Malaka Naar De Republic Indonesia sebagai sebuah konsepsi menuju Indonesia
merdeka diterbitkan pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925 – semasa
pembuangannya.
Sebagai
seorang pemimpin partai komunis, Tan Malaka seringkali berseberangan pemikiran
dengan tokoh komunis lainnya. Terbukti ketika Kongres Koomunis Internasional
(Komintem) IV pada tahun 1922, Tan Malaka dengan tegas menolak pandangan
Komintern untuk memusuhi Pan Islamisme. Selain itu, Tan Malaka juga menolak
pemberontakan PKI terhadap Belanda pada tahun 1926 yang mengakibatkan 13.000
pejuang politik ditangkap dan dihukum. Kejadian ini juga berakibat pada
larangan Belanda terhadap aktivitas PKI.
Jika
melihat sejarah dan masa lalu Tan Malaka yang berdarah minang, didukung dengan
lingkungan yang agamis, tidak menutup kemungkinan hal ini menjadi dasar
pemikirannya. Meskipun titik balik perkembangan pemikirannya berawal dari masa
studinya di Rijkweekschool di kota
Haarlem. Pengaruh sebuah media radikal Belanda Hel Volk memicunya untuk mengetahui lebih dalam tentang Revolusi
Bolsyhevik Oktober 1917. Kejadian ini membuatnya menempatkan dirinya sebagai
seorang Bolsyhevik.
Nah,
berbekal pengetahuan yang ia dapat dari pengalaman hidup di Belanda itulah, Tan
Malaka menasbihkan dirinya sebagai seorang yang harus melakukan perubahan untuk
negaranya. Bahkan ketika kembali ke Indonesia, ia meninggalkan kemewahan yang
ditawarkan Belanda dan memilih hidup sebagai Bolsyhevik, mendirikan sekolah,
dibuang dan dikejar-kejar polisi Belanda hingga ke berbagai negara, mengikuti
konferensi Komunis Internasional IV, bertemu Dr. Sun Yat Sen, menhadiri
Konferensi Buruh Angkutan Pasifik tahun 1924, dan akhirnya menetap di Rawajati,
di dekat pabrik sepatu Kalibata Clilitan Jakarta. Delapan bulan dari 15 Juli
1942 sampai dengan 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, beliau menulis
Madilog.
Daftar
rujukan:
_______
Daftar Rujukan:
Alie,
Marzuki. 2010. Pemahaman Multikulturalisme
untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. dalam Bahan Pembicara
Untuk Dialog Kebangsaan pada acara Dies Natalis Universitas Negeri Surabaya. http://www.marzukialie.com/upload/arsip/123_UNSurabaya.pdf
(diakses tanggal 15 Desember 2011).
Anwar, Siti D. 2004. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Buddhisme. dalam
Jurnal Makara, Sosial Humaniora. Vol. 8/3. Hal. 1120-125. Depok: Universitas
Indonesia.
Darini, Ririn. 2006. Pendidikan Dalam Pemikiran Konfusius. http://eprints.uny.ac.id/2998/5/PENDIDIKAN_DALAM_PEMIKIRAN_KONFUSIUS.pdf
(diakses tanggal 15 Desember 2011).
Dawson,
Raymond. 1990. Konghucu: Penata Budaya Kerajaan Langit. Jakarta:
Temprint.
Hanum,
Farida. 2005. Multikulturalisme Dan
Pendidikan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/multikulturalisme-dan-pendidikan.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Nurhayati.
2009. Jadikan Nilai-Nilai Bangsa Sebagai Pembangkit Semangat Kerja. http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/pusta/nurhayati.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Syaifuddin,
A. Fedyani.2006. Membbumikan
Multikulturalisme Di Indoensia dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya
ETNOVISI. Vol. II. No. 1. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.