Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Soekarno
Konsep
awal pemikiran Sukarno berdasar pada Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme.
Sukarno memang tokoh terkemuka yang seba unik. Manyur Suryanegera, seorang
sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung mencatat, Bung Karnolah
satu-satunya presiden di dunia yang minta jenazahnya diselimuti bendera
Muhammadiyah, bukan Sang Saka Merah Putih, betapapun nasionalisnya dia
sepanjang hidup. Tapi dari sukarno pula lahir pemikiran kontroversial yang
berhasrat menyatukan nasionalisme, agama dan komunisme. Bila berpidato tentang
nasionalisme, Bung Karno berperan jadi Bapak Bangsa. Bila berpidato tentang
Islam, Bung Karno laksana pemimpin muslim. Bila berpidato tentang komunisme,
Bung Karno adalah marxis sejati. Nampaknya apapun akan ia katakana untuk sebuah
Indonesia yang besar dan disegani.
Seputar Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama
Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi
prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi
bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme.
Belum diketahui dengan pasti - sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya
saja - kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang
mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan
Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan
gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak
yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di
Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme
telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia
Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah
gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan
pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan
yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepakterjang kaum Marhaenis.
Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan
sosiodemokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi
pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis)
dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh
Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin
revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik. Sedangkan
dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer
merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin.
Bahkan didalam bukunya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi",
Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang
tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai
benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan
bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner
borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau
nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno
menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya
pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak
anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak
terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas. Kediktatoran
Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi
ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis
didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan
partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan.
Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang
pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi
diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan
penjelasanpenjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa
besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi
Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari
mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa
massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi
revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme
cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih
menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.
***
-( 2 )-
Sjahrir
Bagi Sjahrir politik rupanya
bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut
suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat
ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang
diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari pragmatisme simplistis,
tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga
rasionalitas nilainilai atau Wertrationalitaet dalam pengertian Max
Weber. Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika tentang hubungan
mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika
yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal
sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah
dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian
Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut
pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller tersebut
adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan,
maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben
gewinnen --- politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan
hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu
kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik baik
pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional. Akan tetapi di balik
kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh karena tanpa komplikasi,
suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. Khusus untuk para politisi
muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu
keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat,
ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya
kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah
yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh
tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami
oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang
filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu
sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad.
Tetapi Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk
dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang
gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang
muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan,
yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana
hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat
dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak
dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat
menjadi perangkap kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum
sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para
pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua
terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para
pemuda kita hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah
dilatih untuk memimpin.
***
-( 3 )-
Filsafat
Arab
Perkembangan filsafat Arab bisa dikatakan beriringan
dengan penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, mempelajari filsafat Arab
cenderung memilki korelasi dengan mempelajari Islam. Hal ini disebabkan serapan
filsafat Arab sendiri merupakan dari filsafat Yunani kuno yang dimasuki unsur
agama Islam. Tidak jarang kita temukan beberapa buku filsafat Islam yang
didalamnya memuat pemikiran Yunani.
Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Al Farabi
(870-950). Ia memaknai filsafat tidak berbeda dengan tujuan agama, yakni
mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil tertentu dan
ditujukan kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan),
kiasan-gambaran, dan bersifat universal. Filsafat dalam posisi demikian menjadi
a second-level science, ia
mempelajari semua objek dan bidang dan dipelajari oleh filsafat menurut
sebab-sebab yang mendasar (per ultimas
causas), yang merupakan objek formal filsafatnya. Tidak heran jika
pemikiran ini dalam pandangan filsafat Arab, filsafat dan orang yang
mempelajarinya – dianggap – radikal dan bebas.
Berbeda
dengan lingkup filsafa Barat, filsafat Arab – dalam hal ini filsafat Islam,
sebagaimana yang telah dikembangkan filsuf agung seperti, Ibn Sina, Ibn Khaldun,
Imam Ghazali, dan Imam Hanafi, meliputi bidang-bidang
yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada
di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak
menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. Ketika Ibn Sina
menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia
tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika
dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut,
sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi
pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika,
dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia
menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik.
Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi,
seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua
benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan
(zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai
puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi
bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia
fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup
filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman
terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi
bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof,
dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina
sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan
metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian
kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di
negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau
geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal
di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini
terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami
sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik,
sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
Satu hal lagi yang perlu
didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang
bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan
dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi
pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi
ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan
indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain
menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya
terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan
matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di
bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya
mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami
secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk
meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan
persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung
entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani,
yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan
Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi,
nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang
sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan,
mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak
filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa
menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf
bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu
menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang
holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak
perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek
dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang
sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati
bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun,
seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak
perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam
filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.
Daftar Rujukan: